UU PPP Resmi Diteken, Pengamat: Negara Dikelola dengan Kekuasaan

Bekasi, Rasilnews – Baru-baru ini Presiden Joko Widodo resmi meneken revisi Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Keputusan itu menuai beragam protes dari berbagai pihak, salah satunya Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy.

Sejumlah peraturan anyar dalam UU tersebut, menurut Noorsy, menunjukkan bahwa negara dikelola dengan pendekatan kekuasaan, bukan dengan pendekatan hukum.

“Negara dikelola dengan pendekatan kekuasaan tidak dengan pendekatan hukum,” ucapnya dalam wawancara eksklusif Topik Berita Radio Silaturahim 720 AM, Selasa (21/6).

Noorsy menjelaskan, seharusnya dalam proses pembentukan suatu undang-undang kewenangannya berada pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Tetapi dalam UU PPP, kewenangan Kemenkumham telah dilampaui oleh Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg).

“Mestinya proses perundang-undangan harus bicara dengan Menkumham, tapi sekarang kan nggak. Cukup dengan Mensetneg. Padahal kan fungsinya beda,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada Pasal 82 terdapat tiga Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara yang nantinya akan dilaksanakan kewenangannya oleh Mensetneg. Pertama, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kedua, Peraturan Pemerintah dan ketiga, Peraturan Presiden (Perpres).

Selain itu, salah satu substansi revisi UU PPP adalah memasukan metode omnibus law dalam pembentukan UU.

Padahal pada 2021 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan cacat formil. Sehingga harus diperbaiki dengan jangka waktu paling lama dua tahun. Apabila melewati tenggang waktu yang diberikan, maka UU itu dinyatakan inkonstitusional permanen.

Dengan demikian, Noorsy menilai revisi UU PPP yang memasukkan metode omnibus law dalam pembentukan UU sengaja dibuat untuk melindungi UU Cipta Kerja. Sebab, sebelumnya Pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law tidak ada dalam ketentuan UU PPP.

Lebih jauh, ia mengatakan, tingginya tuntutan dari masyarakat tentang UU kontroversial yang dibawa ke MK, merupakan indikasi bahwa penyelenggara negara bermasalah.

“Tingginya tuntutan untuk pemerintah di Mahkamah Konstitusi mengindikasikan penyelenggara negaranya bermasalah. Ada penyimpangan dan manipulasi aspirasi,” ujar Noorsy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *