Jakarta, Rasilnews – Sengketa kepemilikan atas empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara kembali memicu perhatian publik setelah pemerintah pusat dinilai tidak konsisten dalam menjalankan kesepakatan terkait wilayah Aceh. Tokoh kemanusiaan asal Aceh, dr. Sarbini Abdul Murad, menyoroti keputusan tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan butir-butir perjanjian damai MoU Helsinki.
Dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Kamis (19/06/25), dr. Sarbini menegaskan bahwa pulau-pulau seperti Lipan, Mangkir Ketek, Mangkir Gadang, dan Pulau Panjang secara historis merupakan bagian dari Aceh. Ia menyebut bahwa sikap pemerintah pusat yang mengalihkan klaim kepemilikan kepada Sumatera Utara menyalahi ketentuan dan semangat perdamaian yang telah dibangun pasca konflik Aceh.
“Pulau-pulau itu dulunya adalah wilayah kerajaan Aceh. Secara historis dan emosional, masyarakat Aceh sangat sensitif terhadap isu teritorial. Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi menyangkut marwah,” ujar dr. Sarbini.
Ia juga menyoroti dugaan bahwa pulau-pulau tersebut memiliki potensi sumber daya yang besar, sehingga menjadi incaran pihak tertentu. “Pasti ada sesuatu yang penting di pulau itu. Tidak mungkin salah petakan begitu saja,” tambahnya.
Menurut relawan kemanusiaan yang malang melintang di dunia International ini mengatakan bahwa tindakan pejabat pusat seperti Mendagri Tito Karnavian yang disebut mengambil langkah tanpa koordinasi dengan Presiden memperparah keadaan dan menimbulkan spekulasi di masyarakat. Ia menyebut bahwa sikap pemerintah pusat terkesan tidak tulus dan tidak ikhlas dalam menghormati perjanjian yang telah disepakati.
“Masyarakat Aceh menuntut sinkronisasi antara kata dan perbuatan. MoU Helsinki bukan sekadar dokumen, tapi simbol kepercayaan dan komitmen,” tegasnya.
Dokter Sarbini pun mengapresiasi sikap bijak sejumlah tokoh daerah yang berusaha meredakan ketegangan dan mempertahankan kehormatan masyarakat Aceh. Ia mengajak semua pihak untuk kembali menghormati sejarah dan memperkuat semangat rekonsiliasi demi keutuhan bangsa.
“Kalau sejarah Aceh tidak dipahami dengan benar, maka akan terus terjadi gesekan. Kita ingin penyelesaian yang adil dan bermartabat,” pungkasnya.