Pemerintah Dinilai Enggan Tetapkan Bencana Nasional, Ichsanudin Nursi: Akar Masalah Ada pada Keserakahan

Jakarta, RasilNews — Pemerintah dinilai ragu dan enggan menetapkan bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional, meskipun secara indikator telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kebencanaan.

Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Politik dan Ekonomi Ichsanudin Nursi. Ia menilai, keraguan tersebut bukan semata persoalan teknis kebencanaan, melainkan berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi, pengelolaan konsesi sumber daya alam, serta potensi terbukanya kesalahan struktural negara di mata internasional.

“Jika merujuk pada Undang-Undang Kebencanaan, bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat jelas memenuhi kriteria bencana nasional,” ujar Ichsanudin Nursi dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Selasa (16/12/25). Namun, menurutnya, persoalan menjadi kompleks ketika keputusan itu berhadapan dengan kepentingan politik dan ekonomi.

Ia menegaskan bahwa setiap bencana besar tidak pernah berdiri sebagai peristiwa alam semata. Dampaknya selalu bersinggungan dengan perusahaan-perusahaan pemegang konsesi hutan, tambang emas, dan sumber daya alam lainnya. Dalam konteks ini, penetapan status bencana nasional berpotensi menyeret tanggung jawab korporasi dan membuka kembali praktik pengelolaan konsesi yang selama ini luput dari pengawasan.

Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencabut sejumlah izin, langkah tersebut dinilai belum menyentuh akar persoalan. Sebab, banyak konsesi diketahui memiliki keterkaitan dengan elite kekuasaan di Jakarta.

Menurutnya, penetapan bencana nasional juga akan membuka pintu masuk bagi bantuan asing. Namun, bersamaan dengan itu, negara-negara donor akan melakukan penyelidikan independen untuk menelusuri penyebab bencana dan dampaknya.

“Begitu status bencana nasional ditetapkan, kepentingan politik dan ekonomi internasional akan terbuka. Pengalaman tsunami Aceh 2004 menjadi contoh nyata bagaimana kehadiran negara-negara asing tidak hanya membawa bantuan, tetapi juga membuka kesalahan pengelolaan negara,” katanya.

Ia menambahkan, wilayah Aceh dan Sumatera memiliki posisi strategis karena berkaitan langsung dengan Selat Malaka. Oleh sebab itu, negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan Singapura dipastikan memiliki kepentingan besar jika kawasan tersebut ditetapkan sebagai wilayah bencana nasional.

Dalam pandangannya, peristiwa bencana ini merupakan cerminan dari keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam. Keserakahan tersebut, kata dia, bukan hanya mempermalukan para pelakunya, tetapi juga meninggalkan kerusakan ekologis jangka panjang yang tidak dapat dipulihkan dengan hitungan anggaran negara.

Ia mengingatkan bahwa kerugian akibat bencana tidak bisa hanya dihitung dari jumlah korban jiwa, bangunan rusak, atau infrastruktur yang hancur. Dalam kajian kebencanaan dikenal istilah real loss dan potential loss.

“Yang paling mahal justru potential loss, yaitu hilangnya rasa aman, kepercayaan masyarakat, dan rusaknya ekosistem. Ini jauh lebih berbahaya dibandingkan kerugian material,” jelasnya.

Kerusakan hutan hujan tropis disebut sebagai salah satu dampak terberat. Menurutnya, hutan hujan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terbentuk dan hampir mustahil dipulihkan dalam hitungan lima atau dua puluh lima tahun.

Ketika hutan rusak akibat konsesi, sistem penyerapan air terganggu. Akibatnya, hujan deras langsung mengalir ke permukaan dan memicu banjir serta longsor. Kerugian ekologis inilah yang disebutnya sebagai potensi kerugian terbesar yang kerap diabaikan dalam pengambilan kebijakan.

Ia menilai, keengganan pemerintah menetapkan status bencana nasional tidak terlepas dari kekhawatiran akan terbukanya kesalahan pengelolaan negara. “Penetapan bencana nasional sama artinya dengan membuka aib dan memaksa negara untuk bertanggung jawab,” ujarnya.

Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *