Jakarta, Rasilnews — Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyatakan dirinya menerima vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim, namun tetap menggugat keadilan dalam proses hukum yang ia alami. Hal itu disampaikan Hasto dalam konferensi pers usai menerima vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Jakarta Pusat, pada Jumat (25/7/2025).
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yaitu memberi suap kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019–2024 untuk Harun Masiku.
Namun, terkait dakwaan merintangi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor, majelis hakim menyatakan Hasto tidak terbukti.
“Alhamdulillah, terkait tuduhan obstruction of justice, dinyatakan tidak terbukti. Karena sejak awal, seluruh kader PDI Perjuangan memegang teguh kesadaran hukum dan tidak pernah menghalangi proses hukum,” ujar Hasto kepada awak media.
Meski demikian, terhadap dakwaan suap yang dinyatakan terbukti, Hasto menyampaikan keberatannya. Ia menilai bahwa putusan hakim tidak mempertimbangkan sejumlah fakta penting yang sebenarnya telah muncul dalam putusan sebelumnya, yakni perkara nomor 18 dan 28 Tahun 2020.
“Keterangan Saiful Bahri, Doni Tri Istikomah, dan saksi lainnya menunjukkan bahwa seluruh dana berasal dari Harun Masiku. Bahkan dana tahap pertama adalah Rp750 juta, bukan Rp400 juta sebagaimana direkayasa dalam logika angka 600 dikurangi 200,” jelasnya.
Hasto menyebut dirinya hanya menjadi korban komunikasi internal. Dalam sidang, saksi-saksi di bawah sumpah mengakui bahwa tidak ada dana dari dirinya.
“Saya menjadi korban. Fakta bahwa semua dana dari Harun Masiku sudah jelas, tapi tidak dijadikan pertimbangan utama dalam putusan,” tegasnya.
Karena itu, tema pledoi yang ia ajukan bertajuk “Menggugat Keadilan”, sebagai refleksi dari apa yang menurutnya menjadi penyimpangan dalam proses hukum yang dijalani.
“Ini mirip dengan yang dialami sahabat kami Tom Lembong—bagaimana hukum dijadikan alat kekuasaan. Saya tidak bisa menghindari, karena sejak April saya sudah tahu vonis akan dijatuhkan antara 3,6 hingga 4 tahun,” ungkap Hasto.
Sebagai respons atas situasi tersebut, Hasto mengaku telah mendaftar kuliah S1 Hukum sejak Juni 2025, dan sudah diterima. Ia menyatakan ingin memperjuangkan keadilan secara langsung melalui jalur hukum, sebagaimana yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Febri Diansyah, Prof. Todung Mulya Lubis, dan aktivis hukum lainnya.
“Saya ingin menjadi bagian dari pejuang hukum yang membela wong cilik, mereka yang menjadi korban kekuasaan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kasus ini sarat dengan motif politik sejak awal. Ia menyinggung pemberitaan media nasional yang menyebut kasus ini sebagai “Operasi yang Gagal” karena target utamanya adalah dirinya.
“Terima kasih kepada seluruh kader, simpatisan, dari DPP hingga anak ranting. Dengan putusan ini, kepala saya tetap tegak. Kita akan terus menggugat ketidakadilan,” ucap Hasto.
Di akhir pernyataannya, Hasto menyinggung dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi seperti Saiful Bahri, Wahyu Setiawan, dan Hasim Asy’ari, yang menurutnya turut mempengaruhi proses pengungkapan fakta sebenarnya.
“Walaupun proses hukum kami hormati, keadilan tidak akan pernah lari dari mereka yang terus memperjuangkannya,” tutup Hasto.