Dr. Sarbini: Iran Balas Serangan, Tapi Gaza Masih Jadi Korban yang Terlupakan

Jakarta, Rasil News — Ketegangan antara Iran dan Israel kembali memuncak. Di tengah panasnya situasi, dokter Sarbini Abdul Murad, mantan Presidium Mer-C sekaligus relawan kemanusiaan, memberikan pandangannya dalam program Dialog Topik Berita pada Kamis (26/06/25).

Menurut dr. Sarbini, situasi sempat mengarah ke perundingan damai. Presiden AS Donald Trump bahkan telah mengumumkan bahwa akan ada pertemuan antara Iran dan Israel pada Selasa pagi pukul 04.00. “Amerika coba menjembatani, bicara dulu ke Israel, lalu ke Iran. Tapi baru saja diumumkan, Israel langsung melanggar gencatan senjata,” ujarnya.

Iran pun merespons. Tidak seperti biasanya, kali ini balasan dari Iran jauh lebih keras. “Mungkin Israel nggak menduga akan dibalas seperti itu. Biasanya kan mereka langgar gencatan tanpa konsekuensi berarti,” tambahnya.

Dr. Sarbini juga menyebut ada peran besar dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam memprovokasi konflik. Ia menyebutkan serangan udara AS terhadap tiga reaktor nuklir Iran—di Isfahan, Fordow, Natanz—kemungkinan besar dilakukan sebagai bagian dari skenario Netanyahu. Meski begitu, menurutnya serangan itu lebih bersifat simbolis, begitu juga dengan balasan dari Iran.

“Amerika mungkin ingin nunjukin: ‘Kami tetap di belakang Israel’. Tapi Iran juga kasih sinyal: ‘Kami bisa membalas, kami bukan negara kecil.’ Bahkan saat Iran menyerang pangkalan AS di Qatar, katanya sudah kasih sinyal lebih dulu supaya Amerika bisa evakuasi. Jadi ini lebih ke pesan politik,” jelasnya.

Di sisi lain, Amerika disebut mulai berhitung. “Mereka terbiasa menyerang negara-negara yang lemah seperti Suriah atau Afghanistan. Tapi kalau lawannya Iran, mereka mikir ulang. Makanya, begitu Iran membalas, Amerika langsung minta Israel mundur. Kalau perang terus, mahal biayanya, dan bisa pecah konflik internal juga,” jelasnya.

Namun, ada satu hal yang menurut dr. Sarbini cukup mengecewakan. Di tengah momentum itu, Iran tak menuntut agar Israel mundur dari Gaza sebagai bagian dari kesepakatan damai.

“Padahal ini kesempatan emas. Iran bisa bilang: ‘Kami akan berhenti serang kalau Israel cabut dari Gaza.’ Tapi itu nggak terjadi,” ujarnya. Ia membandingkan dengan Hizbullah yang juga pernah menuntut penarikan pasukan Israel dari Gaza, namun pada akhirnya menerima gencatan senjata tanpa syarat itu. “Artinya, kalau nggak ada klausul penarikan pasukan, itu sinyal bahwa pihak tersebut kalah secara diplomatik,” ujarnya.

Dr. Sarbini juga menyebut bahwa Iran sendiri mengalami kerugian besar dalam konflik ini. “Korban di pihak Iran kemungkinan lebih banyak. Dan Iran sepertinya memang sengaja tidak menyeret Gaza dalam konflik, karena mereka juga sedang fokus ke pertahanan dalam negeri.”

Lebih jauh, ia menilai serangan dua hari ini justru membuka mata masyarakat Israel. “Mereka mulai merasakan apa itu ketakutan dan penderitaan. Tapi tetap saja, dua hari itu nggak sebanding dengan penderitaan warga Gaza selama dua tahun terakhir,” katanya.

Pesan terakhir dari dr. Sarbini cukup jelas: jangan sampai kita terbuai dengan euforia bom meledak di Israel, tapi lupa tujuan utama perjuangan ini.

“Yang penting sekarang bukan soal siapa yang menang atau kalah. Yang harus jadi fokus adalah bagaimana agar Israel benar-benar mundur dari Gaza. Perjuangan rakyat Gaza masih panjang. Jangan sampai mereka jadi korban lagi di tengah duel dua raksasa,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *