Kebangkitan Ekonomi Madinah: Pasar Islami Tanpa Pajak

Artikel Hidayatullah.com

SUMBER-sumber sejarah Islam sepakat, bahwa setibanya di pusat kota Madinah, hal pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ adalah membangun masjid yang kelak dikenal dengan Masjid Nabawi.

Keputusan ini sangat tepat dan membuktikan kejeniusan Sang Rasul. Masjid di masa itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, melainkan juga sebagai wahana pencairan ketegangan sosial dari berbagai kelompok masyarakat yang beragam bahkan dulunya bermusuhan, sehingga dapat membangun solidaritas dan tentu saja berdampak ekonomi.

Sebelum kedatangan Nabi, Aus dan Khazraj adalah dua kelompok penduduk Madinah yang hampir tidak pernah hidup damai. Perang yang melibatkan keduanya ibarat warisan yang diterima dari generasi ke generasi hingga Perang Bu`ats yang terjadi sekitar empat tahun sebelum hijrah. Masyarakat Arab yang menganut sistem kesukuan, tidak ada ruang bersama yang memposisikan setiap orang atau kelompok secara egaliter. Di Madinah, setiap suku atau klan memiliki balai pertemuan eksklusif yang disebut Saqifah.

Di sinilah letak pentingnya masjid sebagai wahana kebersamaan (jamaah) tanpa skat-skat etnik atau status sosial. Kepedulian dan kesetaraan tidak hanya terbangun antara etnik yang berbeda, tapi juga antara pribumi (Anshar) dan pendatang (Muhajirin), kaya dan miskin, dan seterusnya. Persaudaraan ini memiliki dampak yang sangat luas.

Contoh yang paling masyhur adalah persaudaraan antara Sa`ad bin Rabi` dari Anshar dengan Abdurrahman bin `Auf dari Muhajirin. Apalagi di bagian belakang masjid yang disebut Shuffah tinggal puluhan hingga ratusan sahabat miskin yang setiap saat membutuhkan perhatian dan uluran tangan.

Pembangunan masjid ini diikuti dengan langkah-langkah strategis lainnya. Rasulullah ﷺ juga membangun kekuatan jaringan interaksi sosial dengan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Dengan ikatan yang begitu kuat, selayaknya dengan saudara kandung sendiri, banyak persoalan dasar yang dapat diselesaikan; masalah logistik, tempat tinggal, keterasingan, dan lain-lain.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, sebenarnya kaum muslim memiliki potensi yang sangat besar. Kaum Muhajirin yang hampir seluruhnya berasal dari Makkah itu sangat akrab dengan dunia dagang.

Bahkan, menurut pengamatan Dr. Ibrahim asy-Syarif dalam buku Makkah wal Madinah fil Jahiliyyah wal Islam, pada masa itu, dalam dunia dagang, tidak ada kelompok masyarakat yang dapat mengalahkan kehebatan Quraisy, penduduk Makkah. Abdurrahman bin `Auf, seorang Muhajirin, membuktikannya. Sejak hari-hari pertama kedatangannya di Madinah, ia langsung terjun ke pasar Yahudi Bani Qainuqa`, meski tanpa modal uang. Abdurrahman hanya menawarkan jasa kepada para pedagang dan pengunjung pasar. Tapi dengan usaha tersebut, hari itu ia kembali dengan membawa makanan yang cukup.

Dengan potensi besar seperti ini, Rasulullah ﷺ hanya perlu membangun sedikit infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Madinah di tahap awal. Untuk itu, meski tetap membolehkan berdagang di pasar Yahudi, Rasulullah membangun sebuah pasar baru sebagai pasar percontohan yang sepenuhnya menerapkan sistem pasar islami, salah satunya adalah pasar yang bebas dari pungutan pajak.

Dalam riwayat Ibnu Majah dijelaskan, setelah menunjuk lokasi pasar Rasulullah bersabda, “Inilah pasar kalian. Setelah ini, tidak seorang pun yang akan membebani kalian dengan pajak”.

Pembukaan pasar baru di Madinah ini merupakan bukti kemandirian dan otonomi ekonomi sekaligus pembebasan kaum muslim dari hegemoni pasar Yahudi. Mereka sadar dominasi ekonomi Yahudi akan menghambat implementasi sistem pasar baru berdasarkan ajaran Islam.

Demikianlah sekelumit contoh upaya Rasulullah ﷺ untuk bertahan dan membangun perekonomian ummat di Madinah yang bisa kita jadikan pelajaran. Beliau sangat mengutamakan potensi-potensi sosial yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai modal awal pertumbuhan ekonomi yang terbukti mampu mensejahterakan masyarakat.

Keutamaan yang tak boleh dilupakan adalah menganjurkan kedermawanan. Kedermawanan yang diajarkan Rasulullah ﷺ berdasarkan nilai zuhud yang menganggap balasan akhirat di sisi Allah adalah lebih pasti daripada kekayaan yang ada dalam genggaman tangan.

Itulah yang ditunjukkan Sahabat Usman bin `Affan ketika dengan senang hati, menurut Ibnu Hajar al Atsqolani dalam kitab Fathul Bari’, membeli sumber air bi’rrumah seharga 20.000 dirham (sekitar Rp 3 Milyar) dari seorang Yahudi dan menyedekahkannya sehingga seluruh penduduk Madinah mendapatkan air minum secara gratis.

Wallaahu a’lam bisshawaab