Cibubur, Rasilnews – Selama ini, Suriah kerap digambarkan sebagai negeri yang gelap bagi umat Islam di bawah rezim Bashar al-Assad. Narasi yang beredar menyebutkan bahwa sebelum Assad tumbang, kehidupan Islam ditekan dan umat tidak leluasa menjalankan ibadah. Namun, benarkah demikian?
Faizal Assegaf, pengamat Timur Tengah, membantah pandangan tersebut. Dalam program Buka Mata Buka Telinga (BMBT) dengan tema ‘Bagaimana Masa Depan Suriah’ yang disiarkan Radio Silaturahim (Rasil), Ahad (13/07/25), Faizal menceritakan pengalamannya selama tinggal di Damaskus.
“Saya pernah tinggal di Damaskus, tepatnya di daerah Gabalkoisun,” ungkapnya. Lokasi itu, kata Faizal, hanya sepelemparan batu dari rumah almarhum Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buthi, ulama besar Suriah yang syahid dalam sebuah ledakan di masjid. Di sana pula berdiri makam tokoh sufi Ibn Arabi yang selalu ramai diziarahi.
Faizal menegaskan bahwa kehidupan keagamaan di Suriah kala itu berjalan sebagaimana mestinya. Sholat berjemaah tetap dilaksanakan di masjid-masjid, pengajian rutin berlangsung di berbagai kampus, dan mahasiswa asing – termasuk dari Indonesia – bisa belajar tanpa hambatan. Universitas Abu Nur dan Universitas Abu Fattah menjadi pusat pendidikan Islam yang ramai oleh penuntut ilmu.
“Jadi, kalau ada yang bilang Islam ditekan dan umat tidak bebas, itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” ujarnya.
Meski begitu, Faizal tak menampik adanya kontrol ketat dari aparat. Intelijen pemerintah sering terlihat di masjid-masjid, terutama saat sholat subuh berjemaah dan khutbah Jumat. “Mereka mendata siapa saja yang rajin ke masjid. Orang-orang yang aktif di kegiatan agama kadang dicurigai sebagai oposisi politik,” jelasnya.
Faizal kemudian menyoroti pergeseran kebijakan Suriah setelah Assad melewati masa-masa kritis. Menurutnya, Suriah kini tak lagi lantang bersuara membela Palestina. Pemerintah bahkan mengambil langkah drastis dengan membubarkan milisi Palestina, memusnahkan kamp-kamp pelatihan, melucuti persenjataan kelompok bersenjata di wilayahnya, dan melarang segala aktivitas militer Palestina di Suriah.
“Sekarang Suriah tidak lagi menjadi basis perlawanan terhadap Israel seperti dulu. Bahkan, ketika Israel menyerang Iran pada 13 Juni lalu, tidak ada kecaman sama sekali dari pemerintah Suriah,” tegas Faizal.
Di era Assad sebelumnya, Damaskus sempat menjadi rumah bagi Hamas sebelum mereka dipaksa pindah ke Doha dan Amman. Suriah juga pernah menjadi jalur utama suplai senjata dari Iran ke Hezbollah di Lebanon. Namun kini, semua itu berubah.
Suriah pasca-Assad juga menghadapi tantangan besar. Konflik sektarian menelan korban ribuan jiwa, terutama dari kalangan Alawi dan Nasrani. Kantor berita Reuters melaporkan sedikitnya 1.500 warga Alawi dibunuh oleh pasukan rezim baru. Pemerintah Suriah sempat membentuk komite investigasi sejak Maret, tetapi hingga kini hasilnya tak kunjung diumumkan.
“Kalau transparansi tidak ada, bagaimana rakyat bisa percaya pada kepemimpinan baru?” ujar Faizal.
Ia juga menyoroti keberadaan kelompok jihadis yang dahulu bersatu melawan Assad namun kini tercerai-berai. Beberapa di antaranya bahkan melakukan aksi-aksi bom bunuh diri, seperti yang terjadi di Gereja Santo Elias di Damaskus.
Di sisi lain, kekuatan asing memperluas pengaruhnya. Israel mendirikan sepuluh pangkalan militer di Suriah selatan dan aktif memantau pergerakan Hezbollah dari Dataran Tinggi Golan. Amerika Serikat juga memainkan peran penting dengan mendukung pasukan Kurdi melawan sisa-sisa ISIS.
“Saya sendiri pernah ditahan lima hari oleh militer Kurdi ketika menuju Raqqah, bekas ibu kota ISIS. Dari Aleppo ke Daer Hafir, ada tiga pos ISIS yang harus dilewati. Tapi di pos keempat, bendera Kurdi berkibar, dan di situlah saya ditangkap,” kenangnya.
Turki, Rusia, Arab Saudi, Qatar, dan Iran pun tak kalah aktif menjaga kepentingan mereka masing-masing di Suriah.
Di akhir perbincangan, Faizal Assegaf menekankan pentingnya verifikasi informasi bagi umat Islam. Menurutnya, banyak narasi yang dibangun media atau kelompok tertentu tidak selalu mencerminkan fakta di lapangan.
“Jangan cepat percaya pada satu versi cerita saja. Verifikasi itu penting, agar kita tidak termakan propaganda,” pesannya menutup penjelasan panjangnya di Radio Silaturahim.