Jakarta, Rasilnews — Jurnalis senior Nuim Khaiyath menegaskan bahwa peristiwa 10 November 1945 di Surabaya bukan sekadar pertempuran fisik melawan pasukan Sekutu, melainkan juga perwujudan semangat jihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hal itu disampaikan Nuim dalam program dialog “Topik Berita” di Radio Rasil, melalui sambungan telepon langsung dari Australia, Selasa (10/11/2025). Dalam dialog tersebut, ia menyoroti makna mendalam dari Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November.
“Proklamasi hanya mencanangkan kemerdekaan, sedangkan 10 November 1945 adalah perbuatan nyata untuk mempertahankannya,” ujar Nuim.
Menurutnya, semangat perlawanan rakyat Surabaya kala itu tidak lepas dari fatwa para alim ulama yang menyerukan jihad melawan penjajahan. Fatwa tersebut menjadi dasar moral dan spiritual bagi rakyat untuk bangkit menghadapi pasukan Belanda dan Inggris yang berusaha kembali menguasai Indonesia.
Nuim juga menyinggung peran penting Bung Tomo, tokoh muda yang menjadi ikon pertempuran Surabaya melalui pidato-pidato berapi-apinya.
“Bung Tomo memulai pidatonya dengan ‘Bismillahirrahmanirrahim, Merdeka!’ dan menutupnya dengan ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Merdeka!’,” kata Nuim. “Pidato itu membakar semangat rakyat untuk melawan, bukan hanya penjajah Belanda, tapi juga pasukan Sekutu Inggris,” tandasnya.
Namun, Nuim meluruskan anggapan bahwa Bung Tomo berada di medan pertempuran saat itu. Ia menjelaskan, Bung Tomo tidak berada langsung di Surabaya demi alasan keamanan dan strategi perjuangan.
“Kalau Bung Tomo tertangkap, semangat rakyat bisa padam. Jadi, ia harus disembunyikan — bukan melarikan diri, tetapi sebagai taktik perjuangan,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nuim juga mengkritik sebagian media yang dinilainya kerap keliru menafsirkan tokoh-tokoh perjuangan Islam.
“Pernah ada media menyebut Imam Bonjol sebagai muslim radikal dalam Perang Padri. Kita harus hati-hati memahami istilah itu — apakah radikal berarti keras, atau semangat dalam membela kebenaran?” ujarnya.
Nuim menegaskan, makna Hari Pahlawan bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk menumbuhkan kembali semangat keberanian, keikhlasan, dan persatuan sebagaimana dicontohkan para pejuang 10 November 1945.