“Tajuk Rasil” Pandemi Pergi, Mudik Tak Mandek Lagi

“Tajuk Rasil”
Rabu, 26 Ramadhan 1443 H/ 27 April 2022

Pandemi Pergi, Mudik Tak Mandek Lagi

Lebaran Idul Fitri 1443 Hijriyah tinggal menghitung hari. Tak sedikit di antara kita yang tengah mempersiapkan mudik, bahkan sebagian telah berada di kampung halaman. Tradisi yang sudah berlangsung sejak lama tersebut hendaknya dilakukan dengan terencana dan suasana gembira. Apalagi mudik lebaran sudah menjadi tradisi tahunan di Indonesia.

Setelah dua tahun dilarang akibat pandemi Covid-19 yang menerjang, tahun ini tradisi mudik dapat kembali dilaksanakan. Tak heran, jika masyarakat begitu antusias menyambutnya. Sekitar 80 juta orang diproyeksikan melakukan perjalanan mudik pada tahun ini. Kabar gembira tentang virus Covid-19 yang melandai, menjadi angin segar untuk semua kalangan. Meskipun masih ada aturan wajib vaksin, rapidtest, dan lain sebagainya, tetapi mudik di tahun ini sudah kembali “halal” dilakukan. Semua orang dapat dengan lega mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman, merayakan Idul Fitri dengan sukacita.

Dikutip dari berbagai sumber, istilah mudik konon mulai berkembang pada tahun 1970-an, saat pertumbuhan penduduk di Jakarta terus meningkat akibat perantau yang datang berbondong-bondong untuk bekerja karena fokus pembangunan ada di Jakarta. Namun, jauh sebelum itu, konon tradisi mudik sudah dilakukan sejak zaman kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Wilayah kerajaan yang luas membuat pejabat-pejabat ditugaskan di beberapa titik wilayah kekuasaan. Lalu, pada waktu-waktu tertentu para pejabat akan pulang untuk menghadap raja sekaligus mengunjungi keluarganya.

Hal itu dinilai sebagai asal-usul lahirnya fenomena mudik lebaran. Kata mudik sendiri disebut-sebut berasal dari bahasa Jawa “mulih disik” yang artinya pulang dulu. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa istilah mudik berasal dari bahasa Betawi “menuju udik” yang berarti menuju kampong. Terlepas dari asal kata dan bahasanya, mudik merupakan sarana menyambung silaturahim, mengikat rasa kekeluargaan. Bagi perantau, mudik lebaran adalah momen yang sangat dinantikan untuk menuntaskan rindu yang setelah setahun atau lebih ditampung di tanah orang.

Mudik ketika hari raya idul fitri terjadi bukan hanya di Indonesia saja, sebagian negara timur tengah semisal Mesir pun melakukan hal yang sama. Fenomena mudik juga dilakukan oleh warga muslim di Arab Saudi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sama halnya dengan di Indonesia, keluarga di kampung halaman akan mendekorasi rumahnya seindah mungkin dan menyiapkan aneka masakan khas lebaran guna menyambut anggota keluarga lain yang akan berkunjung. Namun tentu saja mudik secara spirit di Indoneisa lebih kentara dan membahana.

Di era modern dengan limpahan teknologi seperti saat ini, sebenarnya silaturahim sudah lebih mudah. Kita bisa saling bertatap muka lewat layar handphone, bisa ngobrol sesuka hati hanya dengan memencet gambar telepon di gawai, tanpa batas jarak dan waktu. Namun nyatanya, tradisi mudik tak bisa digantikan dengan teknologi. Benar rupanya, bahwa secanggih apapun ilmu dan teknologi yang berkembang, fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang butuh pertemuan nyata tidak bisa dibatasi. Kita mungkin bisa bersenda gurau via telepon, tapi pelukan hangat keluarga jauh lebih menenangkan.

Ditinjau dari hakikatnya, aktifitas mudik yang dilaksanankan menjelang Idul fitri ternyata mempunyai hubungan yang jauh lebih bermakna, mudik kita pahami sebagai bentuk perjalanan kembalinya seseorang kepada asul-usulnya, misalnya orang yang jauh merantau ke Jakarta dia akan kembali ke kampung halamannya, kampung di mana terdapat indentitas jati dirinya, bertemu dengan dengan orang tua, sanak keluarga, teman kecil dan kenangan yang akan membangkitkan seseorang rindu kembali ke kampung halamannya, lalu kenapa aktifitas mudik identik dengan Idul fitri?

Ada suatu tempat, yang pasti kita akan kembali ke sana, yang boleh jadi luput dari persiapan-persiapan yang terencana, lalai dari penjadwalan yang tersusun runut, dan dilupakan dari bagian rencana kehidupan kita selaku manusia. Tempat itu adalah “Kampung akhirat”. Jadikan kehidupan yang kita jalani ini menjadi hari-hari pengumpulan bekal mudik ke kampung akhirat kita, dan tidak cukup sampai disitu, jadikan seluruh sisa usia kita, menjadi ajang persiapan mudik ke kampung akhirat, dengan kesabaran dalam menjaga diri dari perbuatan kemaksiatan dan bersabar diri dalam mengerjakan kebaikan. Karena kampung akhirat adalah tempat kembali yang sesungguhnya.
Selamat Mudik !

Wallahu ‘alam bisshawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *