Paradoks Pajak Bangsa Kita

BERITA mengenai penganiayaan oleh anak pejabat Direktur Jenderal Pajak terhadap anak pengurus sebuah ormas masih menjadi sorotan publik.

Namun, yang paling menyita perhatian dari kelanjutan kasus tersebut ialah mencuatnya fakta gaya hidup hedonistik keluarga jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tersebut.

Respon muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengecam gaya hidup mewah dan hedonik oleh jajaran Kemenkeu yang menimbulkan erosi kepercayaan rakyat. Ini mengkhianati mereka yang bekerja secara jujur, bersih, dan profesional.

Pejabat pajak hidup mewah hingga anaknya tidak segan unjuk gigi pamer harta. Padahal, jumlah harta kekayaannya bisa saja tidak sebanding dengan pendapatannya sebagai pejabat pajak. Walhasil, patut diduga adanya tindak korupsi, terlebih ada lebih dari 13 ribu pegawai pajak yang belum melaporkan hartanya.

Kata Sri Mulyani, meski kasus penganiayaan si anak pejabat adalah kasus pribadi, rembetannya berdampak luas. Termasuk potensi gerusan kepercayaan publik terhadap Direktur Jenderal Pajak dan Kemenkeu. Sri Mulyani juga menyebut, gaya hidup mewah keluarga Kemenkeu mencederai perasaan publik. Sebab, pajak tahunan yang negara ambil dari hasil keringat kita dan dipakai menggaji pegawai Kemenkeu, dipakai pamer.

Kita yang melihat kelakuan keluarga si pejabat barangkali cuma bisa mengelus dada sambil istighfar.

Bagi masyarakat, biasanya Februari dan Maret jadi bulan sibuk untuk mengisi surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. Tiga tahun belakangan, Kementerian Keuangan mencatat peningkatan kepatuhan pelaporan pajak melalaui surat pemberitahuan (SPT).

Pada tahun 2019, rasio kepatuhan SPT mencapai 73,06 persen. Kemudian pada 2020, rasio kepatuhan pajak meningkat kembali menjadi 78 persen. Setahun setelahnya rasio kepatuhan pajak kembali naik menjadi 84,07 persen.

Namun ironis, di tengah hiruk-pikuk kebiasaan tahunan itu, kita dibuat geger dengan kasus penganiayaan anak seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak tadi. Bukan cuma soal sabab musabab penganiayaan si anak pejabat DJP, publik juga penasaran dengan harta si pejabat akibat si anak pamer mobil dan moge yang harganya aduhai.

Bukan apa-apa, masih banyak anak-anak yang kurang gizi karena orang tuanya miskin. Masih ada daerah yang gelap karena belum punya infrastruktur listrik. Harga-harga mahal dan beberapa bahan pangan sempat susah didapat.

Beberapa kasus korupsi pajak masih segar dalam ingatan publik, antara lain kasus Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu 2016—2019. Kemudian kasus penyuapan PT Gunung Madu Plantations (GMP) untuk tahun pajak 2016, PT Bank PAN Indonesia (Panin) Tbk. untuk tahun pajak 2016, juga PT Jhonlin Baratama untuk tahun pajak 2016 dan 2017. Kasus ini jamak diketahui, tetapi ternyata masih banyak kasus kebocoran pajak yang luput dari sorotan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menyayangkan adanya keluarga pejabat pajak yang hobi pamer harta. Gaya hidup mewah itu jelas bisa memunculkan kecurigaan publik sehingga mereka pun akhirnya ogah bayar pajak.

Kritik keras juga datang dari Pengamat Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro. Menurutnya, aksi pamer harta oleh anak pejabat jauh dari semangat integritas yang selama ini pemerintah serukan. Gaya hidup bermewah-mewahan pejabat maupun keluarga, katanya, merupakan embrio daripada perilaku korupsi.

Lumrah dalam sistem kapitalisme yang jauh dari agama, masyarakat kelas menengah hingga atas, bahkan pejabat kelas kakap, hidup dalam atmosfer materialistis. Saat ini, media sosial turut menstimulasi masyarakat akan kesenangan dan hedonisme.

Di sisi lain, penerapan sistem ekonomi kapitalisme telah memaksa banyak keluarga kalangan kecil untuk fokus berjuang demi memenuhi kebutuhan ekonomi.

Kesenjangan antara kaya dan miskin dan terus terpelihara dalam sistem kapitalisme liberal. Memiliki orang tua pejabat sebagai “mesin pencetak uang” menyebabkan sang anak pamer harta dan merasa hebat.

Dua sebab di antaranya, pertama, sistem kapitalisme liberal masih bercokol di banyak negeri, termasuk negeri muslim Indonesia yang melahirkan gaya hidup materialistis. Lahirlah individu-individu materialistis.

Kedua, tidak ada pengawasan ketat oleh negara terhadap kinerja pejabat dan harta yang dimiliki setelah menjabat. Padahal, peluang korupsi oleh pejabat di negeri ini sangat terbuka lebar akibat lemahnya sanksi negara.

Wallaahu a’lam bisshawaab