Ustadz Abul Hidayat: Doa ini bukan sekadar bacaan, melainkan perjalanan spiritual menuju ketenangan hati
Cibubur, Rasilnews – Di tengah kehidupan modern yang penuh tekanan dan hiruk pikuk, banyak orang mencari ketenangan melalui hiburan atau pencapaian duniawi. Namun, ketenangan sejati sejatinya bersumber dari kedekatan hati dengan Allah SWT. Salah satu amalan yang diyakini mampu menghadirkan kedamaian batin sekaligus membuka pintu ampunan adalah Sayyidul Istighfar.
Doa ini diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ dan disebut oleh Imam Al-Bukhari sebagai “penghulu istighfar” karena keutamaannya yang sangat besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa membaca Sayyidul Istighfar dengan penuh keyakinan di pagi hari, lalu meninggal dunia sebelum sore, maka ia termasuk penghuni surga. Dan barang siapa membacanya di sore hari, lalu meninggal sebelum pagi, maka ia pun termasuk penghuni surga.”
(HR. Al-Bukhari)
Hadis tersebut menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba yang tulus memohon ampunan. Sayyidul Istighfar bukan sekadar bacaan, melainkan janji keselamatan bagi mereka yang menghidupkan istighfar dalam hati.
Dalam tausiyahnya di Radio Silaturahim (Rasil), Ustadz Abul Hidayat Saerodji menjelaskan bahwa Sayyidul Istighfar mengandung tujuh makna mendalam yang menggambarkan kesadaran seorang hamba terhadap Tuhannya. Ia menyebut doa ini sebagai “perjalanan spiritual” — dari pengakuan, penyerahan, hingga pencerahan hati yang menuntun manusia kembali kepada fitrah.
Makna pertama menegaskan pengakuan atas keesaan Allah. Kalimat “Allahumma anta rabbī, lā ilāha illā anta” berarti, “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.” Menurut Ustadz Abul Hidayat, pengakuan ini menumbuhkan keyakinan bahwa segala kekuatan, rezeki, dan keselamatan hanya datang dari Allah SWT. Keyakinan tersebut menghadirkan ketenangan karena hidup sepenuhnya berada dalam kasih sayang-Nya, bukan dalam kendali nasib atau kebetulan.
Makna berikutnya adalah kesadaran manusia sebagai hamba. Bagian doa “Khalaqtanī wa anā ‘abduka” yang berarti, “Engkaulah yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu,” mengajarkan kerendahan hati dan rasa syukur. Kesadaran ini melahirkan sifat tunduk, tidak sombong, serta menjauhkan manusia dari keangkuhan yang menjerumuskan pada kehampaan hidup.
Selanjutnya, doa ini juga mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Kalimat “Wa anā ‘alā ‘ahdika wa wa‘dika mastaṭa‘t” bermakna, “Aku berusaha menepati janji-Mu semampuku.” Islam, kata Ustadz Abul Hidayat, tidak menuntut kesempurnaan, melainkan kejujuran dalam berusaha. Manusia wajib berikhtiar, tetapi pada akhirnya tetap harus menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Makna lainnya adalah pengakuan dosa dan rasa syukur. Dalam doa “Abū’u laka bini‘matika ‘alayya wa abū’u bidzanbī” yang berarti, “Aku mengakui segala nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku kepada-Mu,” tersimpan pelajaran bahwa mengakui dosa bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti keimanan dan keberanian spiritual untuk memperbaiki diri.
Penutup doa Sayyidul Istighfar menegaskan bahwa hanya Allah-lah sumber pengampunan sejati. Kalimat “Faghfir lī, fa innahu lā yaghfirudz-dzunūba illā anta” berarti, “Ampunilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau.” Dalam bagian ini, seorang hamba menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa selama ia mau kembali, pintu ampunan akan selalu terbuka.
Menurut Ustadz Abul Hidayat, pesan utama dari Sayyidul Istighfar bukan hanya sebagai bacaan penghapus dosa, tetapi juga sebagai jalan menuju pencerahan batin. Doa ini menuntun manusia untuk hidup dengan hati yang lembut, penuh rasa syukur, dan selalu siap menutup hidup dalam keadaan beriman.
“Di zaman yang penuh distraksi, Sayyidul Istighfar bisa menjadi terapi jiwa,” ujarnya. Doa ini membantu seseorang menata ulang prioritas hidup, memperkuat hubungan dengan Allah, serta menjaga kesucian hati dari kesombongan dan keputusasaan.
Ia menambahkan, kesuksesan sejati bukanlah diukur dari pencapaian duniawi, melainkan dari bagaimana seseorang menutup perjalanan hidupnya dengan husnul khatimah — akhir kehidupan yang baik di sisi Allah SWT.