Sejarah Wayang Sebagai Media Dakwah Islam

Sejarah Wayang Sebagai Media Dakwah Islam

Di masa Jawa kuno, Wayang laksana simbol kemajuan peradaban. Keberagaman jenis wayang kulit jadi buktinya, dari wayang purwa hingga beber. Cerita, bahasa hingga situasi kisah wayang kerap dianggap sumber kearifan lintas zaman. Eksis sedari masa Hindu, Buddha, serta Islam. Bahkan wayang digunakan menjadi media dakwah yang punya andil besar dalam perkembangan Islam di Nusantara.

Sebagaimana diungkapkan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Muti yang menyatakan, dalam sejarah Islam di Indonesia, wayang digunakan sebagai media dakwah yang efektif dan membumi. Wayang juga membantu penyebaran Islam sehingga dapat diterima oleh semua kalangan. Wayang dianggap berhasil sebagai media dakwah dan syiar Islam karena menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, pedagogi, hingga politik. Dulu, wayang dipertunjukkan di masjid dan masyarakat bebas untuk menyaksikan. Namun, dengan syarat, mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu sebelum masuk masjid.

Tak seorang pun mampu menjelaskan detail terkait kapan pastinya wayang kulit masuk ke Nusantara. Ada yang menyebut wayang telah masuk sejak masa kejayaan Hindu-Buddha. Ada pula yang mengungkap wayang sejatinya telah hadir jauh hari sebelum masuknya Hindu-Buddha atau pengaruh budaya India. Spekulasi itu diungkap oleh ilmuwan belanda, Jan Laurens Andries Brandes. Dalam pandangannya, wayang termasuk dalam sepuluh unsur kebudayaan asli atau local genius Nusantara sebelum masuknya pengaruh budaya India.

Sumarsam dalam buku ‘Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global’. Pada masa kejayaan Islam di Nusantara, eksistensi wayang justru meningkat. Kaum bumiputra kala itu tak melihat Islam sebagai ancaman. Utamanya penganut agama Hindu, Perlahan-lahan budaya Hindu mulai dimasuki oleh unsur Islam. Justru umat Hindu senang bukan main. Tradisinya mulai diadaptasi oleh umat Islam. Wayang kulit, salah satunya.

Setelahnya, cerita wayang kulit ikutan berkembang. Cerita wayang kulit yang awalnya dominan budaya Hindu mulai disisipi litelatur Islam sebagai inspirasi. Cabolek, Centhini, Tajusalatin jadi beberapa contohnya. Dalam deretan kesusteraan itu, unsur-unsur Islam terlihat mulai masuk dalam cerita wayang. Yang paling penting, proses akulturasi budaya itu memberikan bukti dakwah Islam dapat masuk dengan damai dan mengedepankan toleransi. Yang menyebabkan lapisan bawah dengan mudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Budaya Hindu semuanya dimasuki unsur Islam, dan umat Hindu senang budayanya dianggap bisa sejalan dengan Islam. Bahkan kemudian para penyebar Islam terutama Wali Songo (sembilan wali) memakai wayang kulit sebagai peraga dakwah. Istilah-istilah pun bisa beralih secara perlahan, misalnya, senjata sakti kalimosodo (kalimasada) menjadi kalimat syahadat.

Adalah Sunan Kalijaga dari Wali Songo yang erat menggunakan wayang kulit untuk menyebarkan Islam ke segala penjuru Pulau Jawa. Jasa besar Sunan Kalijaga bagi Islam tak lain karena dirinya melakukan kreasi baru dalam pentas wayang kulit. Kreasi itu dilakukan supaya kesenian wayang cocok dengan selera zaman. Apalagi sebagai media dakwah. Ia pun mencoba memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam wayang. Sebagai contoh Sunan Kalijaga menjadikan Pandawa yang beranggotakan lima orang penegak kebenaran sebagai lambang dari lima Rukun Islam. Sedang Dharmakusuma sebagai putra Pandu yang pertama diberi jimat yang disebut “kalimasada” alias kalimat syahadat. Pun sosok Bima yang selalu berdiri tegak dan kokoh dilambangkan sebagai Sholat. Arjuna yang senang bertapa dilambankan sebagai puasa. Yang terakhir, Nakula dan Sadewa sebagai lambang zakat dan haji.

Nama-nama tokoh pewayangan khas Jawa (Punakawan), seperti Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng pun berasal dari bahasa Arab. Semar, dari kata “Simaar” yang artinya paku. Perlambang bahwa kebenaran agama Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya paku yang tertancap yakni ‘Simaaruddunya’. Gareng, dari kata “Naala Qoriin” (diucapkan lidah Jawa: nala gareng), yang artinya memperoleh banyak kawan. Petruk, dari kata “Fatruk” yang artinya tinggalkan. Diambil dari kalimat ‘Fatruk Kullu Maa Siwallahi’, yaitu tinggalkanlah segala yang selain Allah. Bagong, dari kata “Bagha” yang artinya lacut atau berontak, yaitu memberontak terhadap sesuatu yang zalim. Kadang muncul juga tokoh “Togog’ yang dimunculkan dari kata “Thogut’ (Iblis).

Achmad Chodjim dalam buku ‘Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat’ menuliskan bahwa sunan Kalijaga betul-betul menghargai budaya. Tak ada sisi-sisi agama Islam yang diajarkan oleh Sunan tanpa melalu budaya. Rukun Islam dan Iman diperkenalkan dengan menggunakan budaya Jawa. Wayang kulit digunakan sebagai sarana untuk berdakwah. Dengan menghormati budaya itulah Sunan Kalijaga berhasil mengajak orang Jawa untuk memeluk Islam. Tak perlu ada pemaksaan dalam mengajak orang untuk pindah agama. Cukuplah budaya itu sendiri yang bicara. Itulah kearifan Sunan Kalijaga.

Di masa sekarang ummat Islam perlu memahami, memang wayang merupakan produk budaya yang telah ada sebelum Islam berkembang di Pulau Jawa. Namun, sejak Islam datang dan disebarkan, wayang telah mengalami perubahan. Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa misalnya, tak hanya dijumpai pada wujudnya. Tetapi juga pada istilah-istilah dalam bahasa padalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.

Wallahu’alam Bishshowwab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *