Tony Rosid: Di Era Prabowo, Kejaksaan Lebih Agresif, KPK Melemah

Peran lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi di era Presiden Prabowo Subianto, di mana Kejaksaan Agung dinilai lebih agresif menangani kasus korupsi besar dibanding KPK yang justru terlihat melemah. Hal ini ia sampaikan dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Rabu (14/05/2025).

Jakarta, Rasilnews — Pengamat dan pemerhati bangsa, Tony Rosid, menilai telah terjadi pergeseran signifikan dalam penegakan hukum di era Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, Kejaksaan Agung kini tampil lebih dominan dalam menangani kasus-kasus korupsi besar, sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru tampak kehilangan taji.

“Kasus-kasus besar seperti Pertamina, Timah, PIK 2 — itu semua ditangani Kejaksaan, bukan KPK. Padahal dulu, yang dikenal tajam itu KPK. Sekarang justru Kejaksaan yang bergerak lebih berani,” ungkap Tony dalam dialog.

Tony menegaskan, persoalan lemahnya KPK bukan pada kapasitas, melainkan kemauan. Ia menyebut bahwa semua institusi hukum sebenarnya memiliki kemampuan yang sama, namun tidak semuanya menunjukkan keberanian yang setara.

“Ini bukan soal mampu atau tidak. Semua mampu. Tapi siapa yang punya kemauan? Sekarang Kejaksaan punya kemauan itu. KPK? Tidak. Kepolisian? Sama saja,” katanya.

Menurut Tony, salah satu penyebab mandeknya KPK adalah struktur pimpinan lembaga tersebut yang dibentuk melalui panitia seleksi bentukan Presiden sebelumnya, Joko Widodo. Hal itu, kata dia, berpengaruh besar pada independensi dan keberanian KPK dalam menangani kasus besar.

Tony juga menyoroti nota kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung dan TNI yang belum lama ini diumumkan. Ia menilai, kolaborasi tersebut menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik.

“Apakah ini langkah reaktif karena Kejaksaan merasa mendapat tekanan dari mafia besar? Atau ini langkah proaktif karena mereka bersiap membongkar kasus korupsi yang jauh lebih besar dan lebih kompleks? Dua-duanya bisa,” jelasnya.

Ia menambahkan, pelibatan TNI dalam upaya penegakan hukum adalah langkah yang tidak lazim dan harus dijelaskan secara transparan kepada publik.

“Kalau ini karena situasi luar biasa dan dianggap sebagai bentuk diskresi, maka publik bisa paham. Tapi tetap harus hati-hati, karena langkah semacam ini rentan disalahartikan sebagai politisasi institusi militer,” kata Tony.

Leboh lanjut, Tony juga mengangkat isu yang lebih strategis. Ia menyebut bahwa situasi ini tak lepas dari potensi konflik kekuasaan yang ia sebut sebagai “kompetisi diam” antara kekuatan politik Istana dan yang berasal dari Solo.

“Saya pakai teori konflik. Ini soal pengaruh dan kekuasaan menuju 2029. Bukan sekadar Prabowo vs Jokowi, tapi siapa yang akan mengendalikan arah politik ke depan,” ujarnya.

Tony pernah menulis artikel berjudul “Adu Kuat Jokowi vs Megawati” pada 2017, yang baru dirasakan publik dampaknya menjelang Pemilu 2024. Ia menyebut bahwa dinamika serupa kini mulai muncul kembali, dengan format dan aktor yang berbeda.

Tony menegaskan bahwa sebagai masyarakat, kita harus kritis namun juga terbuka. Jika pelibatan TNI dan dominasi kejaksaan memang murni demi membongkar korupsi dan menyelamatkan negara, maka langkah itu patut didukung.

“Tapi kalau hanya demi kalkulasi kekuasaan dan penataan panggung politik, publik harus berani mengoreksi,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *