Jakarta, Rasilnews – Ekonom dan pengamat geopolitik, Ichsanuddin Noorsy, mengungkapkan bahwa dunia saat ini sudah tidak lagi hanya menghadapi perang dagang biasa. Menurutnya, konflik antarnegara kini sudah berubah bentuk menjadi perang cyber, perang frekuensi, hingga persaingan dalam sistem keuangan digital. Hal ini disampaikannya dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim (Rasil).
Noorsy menjelaskan bahwa ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok bukan hanya soal tarif ekspor dan impor, tetapi sudah masuk ke area yang lebih rumit dan canggih—termasuk teknologi informasi, satelit, dan mata uang digital.
“Ini bukan lagi sekadar perang tarif. Sekarang kita bicara soal kendali atas frekuensi, ruang siber, hingga sistem keuangan dunia yang semuanya berhubungan dengan kekuasaan global,” ungkap Noorsy.
Salah satu contoh yang ia sampaikan adalah keberhasilan pesawat J-10 buatan Tiongkok yang berhasil “menjamming” atau mengacaukan sistem komunikasi jet tempur Rafale buatan Prancis. Kejadian ini, menurutnya, menunjukkan bahwa senjata di era modern tak harus menghancurkan—cukup melumpuhkan.
“Frekuensi itu senjata. Jamming itu bukan sekadar gangguan, tapi bisa melumpuhkan. Ini jenis kekuatan baru yang tak terlihat, tapi sangat berbahaya,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Noorsy juga menyinggung soal vaksin dan tokoh dunia seperti Bill Gates, yang dianggap banyak terlibat dalam promosi vaksin global. Ia menyampaikan bahwa sempat muncul anggapan dari sebagian masyarakat bahwa Indonesia dijadikan semacam “kelinci percobaan” oleh kekuatan luar.
Isu ini juga dikaitkan dengan gugatan terhadap program vaksin di India, serta laporan dampak vaksin di Afrika. Menurutnya, ini menunjukkan bahwa urusan kesehatan pun kini tak bisa dilepaskan dari kepentingan geopolitik.
Di Tengah Pusaran Dunia, Di Mana Indonesia?
Noorsy melihat bahwa secara posisi geografis, Indonesia sebenarnya sangat strategis. Tapi sayangnya, secara ekonomi dan politik global, posisi Indonesia masih lemah dan kurang diperhitungkan.
“Kita masih dibebani masalah-masalah klasik—kemiskinan, ketergantungan energi, nilai tukar yang rentan. Padahal, kita punya peluang untuk mengambil peran yang lebih besar di kawasan,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal travel warning dari AS, tarif ekspor yang tinggi, serta posisi Indonesia yang belum punya “taring” dalam hubungan dagang maupun strategi global.
Noorsy menyoroti perkembangan mata uang digital bank sentral (CBDC) yang kini menjadi “medan baru” perebutan pengaruh global. Proyek Garuda dari Bank Indonesia merupakan langkah maju, namun menurutnya belum cukup kuat secara infrastruktur dan strategi.
Ia mengingatkan bahwa jika mata uang digital ingin diakui dan digunakan luas, maka harus punya kolateral atau jaminan nyata, seperti emas. Ia pun mencatat bahwa banyak negara kini mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dan beralih ke cadangan emas.
“Negara-negara besar mulai menimbun emas. Mereka tahu dolar bisa goyah, dan emas adalah perlindungan paling tua yang masih relevan sampai sekarang.”
Amerika Mulai Goyah, Poros Baru Muncul
Menurut Noorsy, dominasi global Amerika kini sedang diuji. Setelah lama berjaya lewat kekuatan manufaktur dan militer, kini AS lebih bertumpu pada kekuatan IT dan sistem keuangan global. Tapi tekanan dari negara-negara lain, khususnya Tiongkok, Rusia, dan Iran, membuat posisi Amerika tidak lagi sekuat dulu.
“Paul Krugman sendiri bilang, Amerika tidak mungkin kembali ke era kejayaannya di tahun 1950–1980-an. Industri manufakturnya sudah tak mendominasi,” ujarnya.
Salah satu peringatan Noorsy yang cukup penting adalah bahwa pendekatan lama—berbasis angka dan statistik—sudah tidak cukup. Dunia yang semakin digital menuntut pendekatan baru yang lebih memahami perilaku manusia dan dampak dunia maya.
“Orang-orang sekarang hidup dalam realitas virtual. Itu memengaruhi cara berpikir, bertindak, bahkan cara mereka memahami dunia. Kalau masih pakai kacamata statistik saja, kita akan tertinggal.”
Sebagai penutup, Noorsy mendorong agar Indonesia segera merespons perubahan dunia ini dengan lebih serius. Ia menilai bahwa Indonesia sebenarnya bisa menjadi kekuatan regional di Asia Tenggara, asalkan memiliki visi, strategi, dan keberanian untuk membangun posisi tawar sendiri.
“Kita belum terlambat. Tapi kalau terus diam, kita hanya jadi penonton dalam pertarungan global yang makin keras ini,” tutupnya.
Reporter: Abi Agus
Narasumber: Ichsanuddin Noorsy
Acara: Dialog Topik Berita – Radio Silaturahim (Rasil)
Tanggal Siaran: Selasa, 13 Mei 2025