Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia rutin memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Pemerintah, lembaga pendidikan, instansi negara, hingga media massa seolah kompak mengajak publik mengenang berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai tonggak awal kebangkitan bangsa. Namun di balik gegap gempita upacara dan seremonial itu, muncul pertanyaan mendasar: benarkah Budi Utomo mewakili kebangkitan nasional Indonesia yang sesungguhnya?
Dalam Api Sejarah Jilid I, sejarawan Muslim Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan dengan tegas bahwa pemilihan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional adalah bentuk distorsi sejarah yang telah berlangsung terlalu lama. Dalam wawancaranya dengan Radio Silaturahim, beliau menegaskan bahwa sejarah nasional telah dipelintir, membuat kita lupa bahwa umat Islam adalah penggerak utama kebangkitan Indonesia—jauh sebelum Budi Utomo lahir.
Prof. Mansur mengajak kita membedakan antara sejarah sebagai peristiwa dan sejarah sebagai narasi. Fakta sejarah mungkin tetap ada, namun bagaimana ia ditulis—dan oleh siapa—menentukan bagaimana ia dipahami oleh generasi berikutnya.
Sayangnya, narasi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah dan diperingati secara resmi justru seringkali mencerminkan kepentingan politik kelompok yang dominan pascakemerdekaan. Akibatnya, tokoh-tokoh Islam yang seharusnya menjadi ujung tombak perjuangan malah dikesampingkan. Dalam buku pelajaran, mereka hanya muncul sebagai figuran—bukan sebagai pelopor.
Padahal, jauh sebelum 1908, sejak abad ke-15, perlawanan terhadap penjajahan telah digerakkan oleh tokoh-tokoh Muslim. Di Malaka, ada Pangeran Sabrang Lor dari Demak. Di Batavia, ada Fatahillah dan Syarif Hidayatullah, yang berhasil mengubah Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (yang berarti kemenangan yang sempurna). Di Jawa, Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, dan Sentot Ali Basah memimpin Perang Jawa (1825–1830) yang menjadi salah satu perlawanan terbesar terhadap Belanda—berlandaskan semangat keislaman dan anti-penjajahan.
Budi Utomo: Elitis dan Apolitis
Lalu mengapa Budi Utomo yang justru dipilih sebagai simbol kebangkitan nasional? Organisasi ini didirikan oleh para priyayi Jawa lulusan STOVIA, yang umumnya dekat dengan kekuasaan kolonial. Menurut Prof. Mansur, Budi Utomo tidak memiliki agenda kemerdekaan dan tidak mencerminkan semangat nasionalisme yang sesungguhnya. Bahkan dalam kongresnya tahun 1928, organisasi ini menolak cita-cita persatuan nasional dan lebih memilih identitas etnik Jawa sebagai dasar perjuangan. Aktivitasnya terbatas di kalangan elite dan tidak menyentuh aspirasi rakyat kebanyakan.
Sebaliknya, organisasi seperti Syarikat Dagang Islam (SDI) yang berdiri pada 16 Oktober 1905, dan kemudian berkembang menjadi Syarikat Islam (SI), memiliki basis massa yang kuat, menyuarakan keadilan sosial, dan menentang ketidakadilan kolonial. Inilah organisasi rakyat, bukan organisasi elite.
SI menjadi kekuatan penting dalam membangun kesadaran politik umat dan rakyat secara luas. Bahkan gerakan pemuda seperti Jong Islamieten Bond (1925) sudah membicarakan relasi antara Islam, bangsa, dan kemerdekaan dengan visi yang jauh lebih matang dibanding Budi Utomo.
Distorsi Terstruktur: Dari Piagam Jakarta ke Kurikulum Nasional
Distorsi sejarah ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada awal kemerdekaan: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kompromi politik saat itu membuka jalan bagi pengaburan sistematis terhadap kontribusi Islam dalam sejarah nasional.
Departemen Pendidikan, yang sejak awal kemerdekaan dikuasai oleh kalangan non-Islam dan nasionalis sekuler, mengambil peran sentral dalam menyusun kurikulum sejarah yang menonjolkan kelompok tertentu dan menihilkan peran umat Islam. Tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, dan KH Hasyim Asy’ari kurang mendapat tempat dalam narasi sejarah resmi, padahal mereka adalah tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan.
Ironisnya, ketika Konferensi Asia Afrika diperingati ke-60 kalinya pada 2015, tidak ada penyebutan sama sekali tentang Konferensi Islam Asia Afrika, yang sejatinya merupakan bagian penting dari diplomasi dunia yang digerakkan oleh umat Islam. Ini menunjukkan bahwa penghapusan sejarah Islam bukan hanya terjadi di masa lalu, tapi terus berlanjut di masa kini.
Jika hari ini kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, umat Islam berhak bertanya: kebangkitan siapa yang kita rayakan? Apakah ini benar-benar kebangkitan kolektif seluruh bangsa, atau justru perayaan elite tertentu yang tidak mewakili semangat perjuangan rakyat?
Prof. Mansur pernah menyindir dengan analogi tajam: seperti telur mata sapi—yang bertelur ayam, tapi yang disebut sapi. Analogi ini menggambarkan ironi bahwa pejuang sejati dilupakan, sementara mereka yang tidak terlibat aktif malah diangkat sebagai pelopor.
Sudah saatnya bangsa Indonesia melakukan rekonstruksi sejarah. Bukan untuk membangkitkan konflik identitas, tapi untuk menghadirkan keadilan dalam narasi kebangsaan. Sejarah adalah milik bersama, bukan milik satu golongan.
Jika kita ingin sungguh-sungguh menghormati kebangkitan nasional, maka akuilah para pejuang sejati. Akui mereka yang berjuang bukan demi jabatan atau pengakuan, tapi karena iman, cinta tanah air, dan semangat tauhid.
Jika Hari Kebangkitan Nasional tetap ingin diperingati, mengapa tidak mempertimbangkan 16 Oktober 1905, hari berdirinya SDI, sebagai tonggaknya? Di sanalah awal kesadaran rakyat—berbasis Islam, ekonomi mandiri, dan semangat perlawanan—mulai bangkit secara terorganisir.
Penutup: Kebangkitan yang Sejati
Sebagai bangsa, kita tidak akan maju jika terus memendam sejarah yang keliru. Kita tidak akan merdeka secara utuh jika para pahlawan sejati terus dikubur dalam diam.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Wa laa tahinu wa laa tahzanu wa antumul a’lawna in kuntum mu’minin”
“Janganlah kamu merasa lemah dan bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)
Inilah saatnya kita bangkit, bukan hanya sebagai bangsa yang besar, tetapi juga sebagai umat yang sadar akan sejarah dan identitasnya. Karena memperjuangkan kebenaran sejarah adalah bagian dari memperjuangkan kebenaran itu sendiri.