Martabat Pejabat Negara

Oleh: Prof. Haedar Nashir

KASUS demi kasus menimpa para pejabat negara di negeri tercinta. Dari kasus korupsi yang sering terjadi dan tetap tinggi di pusat sampai daerah yang membuat kekayaan negara dijarah tiada henti. Hingga peristiwa-peristiwa kekerasan, kasus moral atau etik, dan sederet penyimpangan yang tidak mencerminkan suri teladan di hadapan publik. Belum terbilang kebijakan, pernyataan atau ujaran, dan langkah-langkah petinggi negeri yang menimbulkan keresahan, kekecewaan, kegaduhan, kerugian, dan masalah berat bagi hajat hidup publik serta eksistensi dan masa depan Indonesia tercinta.

Tanpa harus merasa diri paling moralis dan semuci, kiranya semua elite negeri dan warga bangsa penting merenungkan kembali mengapa banyak kasus dan tragedi di negeri tercinta ini terus terjadi. Apa yang hilang dari elite negeri yang mengemban mandat rakyat dan tugas negara, sehingga hilang martabat di mata rakyat? Semua pihak layak berefleksi diri agar kejadian-kejadian tragis tidak terulang kembali.

Setiap pejabat negara disumpah atas nama rakyat, negara, dan bahkan demi Tuhan Yang Mahakuasa untuk melaksanakan tugas, mandat, dan jabatannya dengan baik dan adil serta tidak menyalahgunakannya. Presiden dan wakilnya sebagai representasi jabatan tertinggi dalam kekuasaan pemerintahan negara yang menjadi pusat lingkaran pejabat negeri bahkan diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk bersumpah dan berjanji di hadapan rakyat dengan atas nama Allah SWT.

Para pejabat negara di setiap lini pemerintahan, di eksekutif, legislatif, yudikatif, serta lembaga-lembaga auxiliary, seperti berbagai lembaga komisi negara dari pusat sampai daerah ketika memperoleh jabatan baru juga disumpah dengan atas nama Tuhan. Mereka berkomitmen penuh untuk menjalankan tugas, kewajiban, dan jabatannya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, serta tegak lurus dalam melaksanakan konstitusi, perundang-undangan, dan peraturan yang berlaku. Mereka dituntut memiliki moralitas luhur dan standar perilaku yang tinggi di hadapan publik.

Apa yang sebenarnya dicari sehingga sebagian pejabat negeri terlibat masalah serta melakukan sejumlah kebijakan dan tindakan yang menyimpang dari sumpahnya sendiri? Apakah tidak tahu dan tidak paham atas segala standar nilai dan norma yang melekat dengan jabatannya? Kesenjangan nilai dan disintegrasi diri boleh jadi tengah terjadi. Sebagian mungkin mengalami cultural-lag ketika segala pesona kekuasaannya mengalahkan jiwa rohaniahnya yang jernih.

Lalu, terjadi disorientasi hidup dengan jabatannya membuat diri ternina-bobo dalam segala gemerlap dan kedigdayaan diri sehingga tercerabut dari niat awal dan idealisasi saat harus mengemban tugas negara dan mandat rakyat. Dari seharusnya berkhidmat sepenuh hati bagi bangsa dan negara, menjadi penikmat jabatan, kekayaan, legasi diri dalam segala pesona duniawi yang berlebihan dan tak berkesudahan.

Konstitusi dan segala koridor undang-undang maupun peraturan pun diakali, disiasati, dan disalahgunakan demi meraih kedigdayaan kuasa dan pesona kehidupan yang ‘mata al-ghurur’, sarat kesenangan duniawi. Segala hal seolah dapat dibeli dan dipertukarkan sehingga jabatan kehilangan fungsi nilai utama dan hanya dijadikan nilai-guna untuk memperkaya diri, legasi kuasa, dan segala kejayaan hidup diri, kroni, dan dinasti secara pragmatis dan oportunistik.

Sebenarnya masih banyak elite dan pejabat negeri yang mulia hatinya dan baik perangai dirinya di negeri ini. Kini yang perlu dibangkitkan kembali dalam tubuh elite maupun penduduk negeri ialah integritas diri. Bagaimana menjadikan diri setiap insan Indonesia hidup benar, baik, dan patut secara moral yang berdiri tegak di atas nilai-nilai luhur agama, Pancasila, dan kebudayaan bangsa yang dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Para pejabat negara bila benar-benar cinta rakyat dan negara maka utamakan segala hajat hidup rakyat dan negara sebagai agenda utama lebih dari yang lainnya. Bukan populisme cinta rakyat sebatas permukaan, simbolis, dan artifisial. Bukan pemimpin yang bertakhta di atas kekuasaan belaka dan mengandalkan populisme verbal tanpa menyelami nasib rakyat yang masih banyak hidup miskin, marginal, dan tertinggal. Jabatan apa pun dalam kehidupan kenegaraan harus bersendikan nilai luhur keindonesiaan. Jadikan jabatan sebagai takhta untuk rakyat yang menyejahterakan, membawa keadilan, kebaikan, memajukan, dan memuliakan kehidupan bersama. Buatlah kebijakan-kebijakan yang berani untuk menyejahterakan dan memakmurkan mayoritas rakyat kecil.

Prahara suatu bangsa justru bermula dari sikap tamak dan angkuh diri para pemegang kuasa dunia yang melampaui batas, sebagaimana peringatan Allah SWT dalam Alquran: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS al-Isra: 16).

Wallahu a’lam bish shawab