Ketegangan Global Memanas, Nuim Khaiyath: Di Saat Dunia Membisu, Iran Menolak Tunduk

Sydney, Rasilnews – Ketegangan geopolitik global tengah memasuki fase yang semakin kritis. Dalam Dialog Topik Berita, Senin (23/06/25) Nuim Khaiyath, berbagi pandangan tentang peristiwa dunia mulai dari krisis Gaza, konflik Iran-Israel, hingga keterlibatan Amerika Serikat. Ia menilai, perkembangan ini bukan hanya menimbulkan kekacauan regional, tetapi juga menantang kemanusiaan global secara menyeluruh.

Nuim mengawali sorotannya dengan situasi di perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir, di mana para aktivis kemanusiaan dari berbagai negara berkumpul untuk menyuarakan solidaritas terhadap warga Palestina. Namun niat mulia itu, menurutnya, justru dibalas dengan tindakan keras dari aparat keamanan Mesir. “Paspor mereka disita, mereka tidak diberi tempat atau fasilitas dasar,” ungkap Nuim. Perlakuan ini, menurutnya, mengecewakan banyak pihak dan memicu pertanyaan besar tentang posisi Mesir dalam konflik yang seharusnya difokuskan pada agresi Israel.

Keterlibatan Mesir, lanjut Nuim, tidak bisa dilepaskan dari hubungan erat negara tersebut dengan Amerika Serikat. Sejak lama, Mesir telah menerima bantuan besar dari Washington, dan sebagai bagian dari kompromi tersebut, diminta menjaga kestabilan kawasan—terutama dengan membatasi tekanan terhadap Israel. Dengan kata lain, Mesir kini terjebak dalam peran sebagai “pelindung tidak resmi” yang harus berjalan di atas tali antara diplomasi dan tekanan geopolitik.

Dari Mesir dan Gaza, Nuim mengalihkan perhatian ke Iran, yang baru-baru ini menjadi sasaran serangan udara Amerika Serikat. Ia menjelaskan bahwa serangan itu menggunakan bom penghancur bunker berteknologi tinggi, yang diklaim mampu menembus hingga 60 meter ke dalam tanah. Meski demikian, hingga kini belum ditemukan indikasi adanya kebocoran radiasi dari situs nuklir Fordow, yang menjadi target utama. “Sebelum serangan, truk-truk terlihat sudah antri di lokasi. Apakah fasilitas nuklir Iran sudah dipindahkan? Wallahu a’lam,” ujarnya.

Di balik serangan itu, menurut Nuim, ada ketegangan internal yang tak kalah tajam di Amerika Serikat sendiri. Presiden Donald Trump, yang memerintahkan serangan tanpa persetujuan Kongres, menuai kecaman karena dinilai melanggar konstitusi. Namun Trump berdalih bahwa sebagai panglima tertinggi, ia memiliki hak penuh atas keputusan militer. Menariknya, Nuim melihat bahwa keputusan Trump itu justru lebih didorong oleh pengaruh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, daripada rekomendasi badan intelijen AS sendiri.

Netanyahu, kata Nuim, bahkan bertindak mendahului Amerika. Ia melakukan serangan terhadap Iran pada 13 Juni, hanya dua hari sebelum dijadwalkannya perundingan antara AS dan Iran pada 15 Juni. Serangan ini membuat AS “tersandera”, dan seolah tidak punya pilihan lain selain mengikuti arus eskalasi. “Netanyahu sudah menyiapkan narasi bahwa Trump adalah pahlawan. Maka AS pun terseret,” jelasnya.

Meski demikian, Iran menunjukkan bahwa mereka belum kehilangan kekuatan. Tak lama setelah serangan tersebut, Iran meluncurkan rudal balistik Haibar Sheikhan yang memiliki kecepatan luar biasa—disebut-sebut mencapai 10.000 km per jam. Ini menunjukkan bahwa Iran masih menyimpan kekuatan strategis, meskipun banyak pihak sebelumnya memperkirakan bahwa sebagian besar persenjataan mereka telah dihancurkan oleh serangan Israel.

Nuim menyatakan bahwa daya tahan Iran tidak hanya terletak pada kemampuan militernya, tetapi juga pada kekuatan ideologi dan semangat perlawanan yang sudah tertanam sejak Revolusi Islam 1979. “Iran berbeda. Mereka bukan sekadar negara, mereka punya gagasan yang tak mudah ditaklukkan,” katanya. Ia mengingatkan bagaimana Iran tetap bertahan dalam berbagai embargo, sanksi ekonomi, dan tekanan internasional selama puluhan tahun.

Menengok ke belakang, Nuim mengingatkan kegagalan operasi militer AS di masa Presiden Jimmy Carter, ketika pasukan khusus AS tidak berhasil membebaskan sandera di Teheran. Misi itu gagal total bahkan sebelum sempat mendarat di Iran. “Iran memang duri dalam daging bagi Barat. Mereka tak mudah dilumpuhkan,” ujarnya.

Kini, Iran kembali membuat Barat khawatir dengan ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur vital distribusi minyak dunia. Menurut Nuim, jika jalur ini benar-benar ditutup, dampaknya akan sangat besar terhadap ekonomi global. Ia juga menyoroti kekuatan militer Iran di Samudra Hindia, termasuk kemampuan kapal selam yang disebut dapat mengintai hingga ke pangkalan militer Diego Garcia—basis Inggris yang disewa Amerika Serikat.

Krisis global ini semakin rumit karena, menurut Nuim, negara-negara Barat justru melemparkan beban tanggung jawab ke pundak Iran. Padahal, menurutnya, masalah sebenarnya jauh lebih kompleks dan melibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Israel yang telah bertindak di luar batas. Ia juga menggarisbawahi bahwa krisis di Gaza belum mereda, bahkan semakin parah dengan terus bertambahnya jumlah korban.

“Umat manusia kini menanggung dampak dari kebijakan yang tidak adil. Dan Iran, terlepas dari segala kontroversinya, tetap berdiri melawan tekanan dengan cara yang tidak biasa,” tutup Nuim Khaiyath.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *