Cibubur, Rasilnews – Di tengah gonjang-ganjing demokrasi dan derasnya arus informasi digital, Ketua Dewan Pers Prof. Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa pers memiliki tanggung jawab moral untuk membangun peradaban, bukan sekadar menyampaikan berita.
Dalam Dialog Topik berita Radio Silaturahim, Kamis (06/11/25), ia mengingatkan bahwa lembaga penyiaran — baik radio maupun televisi — sejatinya adalah aktivis kebudayaan, pekerja peradaban yang mengarahkan masyarakat menuju kebaikan dan pencerahan.
“Pers itu bukan sekadar juru warta, tetapi pekerja kebudayaan dan peradaban,” ujar Prof. Komaruddin dengan tegas.
Menurutnya, ketika media gagal menjalankan fungsi pencerahan, maka ruang itu akan diambil alih oleh penyebar hoaks yang merusak integritas bangsa dan menumbuhkan generasi yang dibentuk oleh kebohongan serta narasi berorientasi uang.
Dalam penjelasannya, Prof. Komaruddin menggunakan analogi yang sangat mendalam. Dalam bahasa Arab, kata nabi berasal dari akar kata naba’un yang berarti “pembawa berita”. Maka, nabi adalah juru pewarta kebenaran dari langit untuk kemaslahatan manusia.
Dengan pemaknaan ini, tugas pers sesungguhnya adalah tugas kenabian: menyampaikan kebenaran, memberi bimbingan, dan menerangi masyarakat.
“Tugas pewarta sejati adalah memberi pencerahan, bukan menyesatkan. Media harus jadi cahaya, bukan cermin yang memantulkan kekacauan,” jelasnya.
Prof. Komaruddin menyebut buzzer sebagai musuh baru kebaikan. Mereka bekerja demi uang, memutarbalikkan fakta, dan memperbanyak hoaks. Dalam situasi ini, peran pers menjadi semakin vital — bukan hanya sebagai sumber berita, tetapi sebagai penjaga kebenaran dan integritas publik.
Ia juga mengingatkan firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”
(QS. Al-Hujurat: 6)
“Virus hoaks itu dosa besar jika disebarkan tanpa verifikasi,” tegasnya. “Maka tugas media adalah menjadi filter, bukan amplifier kebohongan.”
Media, lanjut Prof. Komaruddin, juga harus mendorong munculnya pemimpin yang jujur, relevan, dan profesional, bukan sekadar populer. Ia mencontohkan sosok Zohran Mamdani, Wali Kota Muslim New York yang dikenal menolak “kesalehan simbolik” dan justru mempraktikkan “kesalehan sistemik” — kesalehan yang berwujud tindakan nyata.
“Pemimpin berintegritas tidak butuh pencitraan. Akhlak adalah strategi, bukan ornamen,” ujarnya.
Di tengah tekanan politik, gugatan hukum, dan derasnya komersialisasi berita, Prof. Komaruddin menegaskan bahwa media Islam harus tetap berdiri sebagai benteng terakhir kebenaran.
“Media yang setia pada nilai-nilai iman dan akal sehat akan melahirkan generasi cerdas, jujur, dan berintegritas,” pesannya.
Dengan kembali ke akar tugasnya sebagai juru pewarta kebaikan, media dapat menjadi garda terakhir yang menyelamatkan bangsa dari banjir informasi palsu — sekaligus menjamin masa depan politik yang diisi oleh pemimpin yang jujur, beriman, dan berakhlak.