Dokter-Dokter Tersedu di Meja Kasir Negara

Rabu, 23 Dzulqaidah 1446 H/ 21 Mei 2025
Oleh: Cak AT – Ahmadie Thaha

Suatu hari di ruang rapat Rumah Sakit Umum Paling Sentral, sang direktur menggenggam setumpuk kertas. Tangannya gemetar, bukan karena stroke ringan, melainkan karena angka besar yang baru saja dikirim dari pusat: “Target Pendapatan RS Tahun Ini: Rp1,6 Triliun.” Maka menangislah stetoskop di seluruh negeri. Tapi boleh jadi, cerita ini hanyalah rumor yang beredar. Namun seperti kata pepatah media sosial: “Kalau tidak benar, kenapa terdengar begitu meyakinkan?” Kenapa pula ratusan guru besar negeri ini berteriak?

Ya, rumor bahwa Kementerian Kesehatan menetapkan target pendapatan miliaran hingga triliunan kepada rumah sakit pelat merah, begitu merebak di ribuan layar digital. Yang lebih dramatis lagi, katanya para dokter mulai merasa jadi makhluk hidup paling tanggung di republik ini. Mereka merasa bekerja bukan lagi demi melayani kemanusiaan, melainkan demi mengejar setoran. Sedihnya, bukan setoran pahala. Bayangkan, jika dokter di IGD bukan lagi bertanya ke pasien, “Bagaimana kondisi Anda?” tapi bertanya pada keluarganya, “Bisa dibayar pakai tunai atau cicilan ShopeePay?”

Tentu, kita tidak sedang mengarang-ngarang. Rumor memang tak punya akta lahir, tapi keresahan para dokter sangat nyata. Bahkan seorang dokter, kawan penulis, berujar dengan nada getir: “Saya tidak bisa membayangkan jika dokter seluruh Indonesia bergerak melawan kekuasaan yang menindas mereka.” Kalimat yang jika disampaikan dalam bentuk orkestra, bisa jadi lagu kebangsaan baru: Indonesia (Sudah) Sakit. Lantas, dari mana asal mula semua kegaduhan ini? Menurut Taufiq Fredrik Pasiak —ilmuwan otak yang masih berpikiran jernih meski hidup di negeri gaduh— semua ini berawal dari pergeseran cara pandang terhadap profesi dokter. Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta ini menulis artikel panjang soal ini di jernih.co.

Anda tahu, Menteri Kesehatan kita, Budi Gunadi Sadikin (BGS), bukanlah produk Fakultas Kedokteran, melainkan Fakultas Ekonomi Kapitalistik Terapan. Maka wajarlah jika beliau melihat rumah sakit seperti melihat kantor cabang bank: ada KPI, ada proyeksi income, dan tentu saja ada target. Kalau bisa sekalian pakai SPG. Dalam bayangan BGS, bisa jadi rumah sakit adalah unit produksi strategis. Dokter? Sumber daya manusia. Pasien? Mungkin customer experience unit. Dan ilmu kedokteran? Ah, itu tinggal dicetak cepat seperti Indomie rasa kuah empati.

Melihat fakta ini, Taufik Pasiak berkesimpulan: “Ini bukan sekadar kebijakan, tapi pertarungan dua paradigma.” Yang satu paradigma logistik, yang lain etik dan humanistik. Tapi apa daya, dalam arena ini, sang menteri membawa pisau aturan yang bisa memotong prodi spesialis seenaknya. Sedangkan para guru besar hanya membawa idealisme —benda yang tak laku dijual. Sementara itu, pendidikan dokter spesialis di dalam negeri memang tak sepenuhnya suci. Ada juga borok-borok yang sudah lama berbau: sistem hierarkis yang menindas, biaya yang selangit, dan birokrasi yang bikin frustrasi. Dalam beberapa kasus, mahasiswa spesialis yang sedang kuliah di rumah sakit diperlakukan lebih mirip buruh kasar ber-ID card, ketimbang calon penyembuh yang dilatih dengan hati-hati.

Jumlah dokter spesialis di Indonesia saat ini mencapai 49.670. Menurut Bappenas, rasio ideal dokter spesialis adalah 0,28 per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia masih kekurangan sekitar 29.179 dokter spesialis. Selain itu, distribusi mereka juga tidak merata. Sekitar 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. Di saat yang sama, pendidikan dokter spesialis begitu lambat dan sangat mahal. Saat ini, Indonesia hanya mampu mencetak sekitar 2.700 dokter spesialis per tahun dari 24 fakultas kedokteran—jauh dari kebutuhan ideal yang mencapai 32.000.

Nah, celah inilah yang dimanfaatkan BGS untuk masuk dengan semangat “reformasi.” Ia tertantang untuk memenuhi kebutuhan ini, dengan tujuan mulia: agar bangsa Indonesia sehat. Ia pun melihat kayu-kayu penghalang percepatan pembentukan dokter spesialis. Maka, BGS membuat satu terobosan sejak era Jokowi. Pemerintah pun pada Mei tahun lalu secara resmi meluncurkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan. Peluncuran ini berlangsung di RSAB Harapan Kita, Jakarta. Sayangnya, alih-alih membenahi akar, BGS memilih memangkas daun: mempercepat, memecah jalur, memindahkan pusat pendidikan dari universitas ke rumah sakit. Seolah-olah mencetak dokter sama mudahnya seperti mencetak kartu ATM.

Di sisi lain, rumor pendapatan triliunan dari RSUP bukanlah sekadar angka. Ia adalah simbol dari bagaimana pemerintah melihat rumah sakit: bukan lagi benteng kemanusiaan, tapi gudang profit. Maka tak heran jika para dokter kini dilanda krisis eksistensial. Mereka merasa bukan lagi pejuang di garis depan, tapi sales asuransi dengan jas putih. Lalu apa yang akan terjadi jika rumor ini benar? Mungkin akan lahir profesi baru: “Dokterpreneur.” Pasien masuk bukan berdasarkan urgensi, tapi potensi margin keuntungan. IGD berubah jadi kasir, dan operasi dijadwalkan berdasarkan grafik keuangan. Yang miskin? Silakan ke belakang antrean, atau ke pengobatan alternatif.

Namun, kita juga tak boleh jadi pesimis akut. Pasiak menawarkan jalan damai: audit menyeluruh, bentuk dewan transisi, dan perbaiki sistem dari hulu. Negara perlu berdialog dengan komunitas medis —bukan hanya mengatur dari atas. Karena dokter bukan barang produksi, dan pendidikan dokter bukan pabrik. Dan pada akhirnya, kita sebagai rakyat hanya bisa berharap: semoga rumor ini tak menjadi kenyataan. Karena kalau iya, rumah sakit akan menjadi tempat di mana penyakit disambut dengan tarif, dan dokter menangis di balik masker sambil menghitung cicilan hidup. Selamat datang di Republik Sehat, Syarat dan Ketentuan Berlaku.

Wallahu ‘alam bishshawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *