ICMI: UU Kesehatan Seharusnya Berpihak kepada Rakyat

Jakarta, Rasilnews – Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) meminta agar Undang-Undang (UU) Omnibus Kesehatan 2023 seharusnya lebih berpihak kepada upaya meningkatkan kesehatan publik dengan memasukan pasal-pasal yang lebih spesifik menyebutkan tentang kesehatan masyarakat.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat Majelis Pengurus Pusat (MPP) ICMI Zaenal Abidin, dalam Webinar bertajuk “Undang-Undang Kesehatan” di Jakarta, pada Jumat (4/8/2023).

“UU Omnibus Kesehatan 2023 adalah untuk kepentingan rakyat. Meskipun demikian, UU Omnibus Kesehatan 2023 memang bukan UU Organisasi Profesi dan Tenaga Kesehatan, melainkan public health law sebagai dasar transformasi kesehatan yang, integratif, holistik dan komprehensif,” kata Zaenal.

Dirinya menambahkan, salah satu yang disoroti dari UU Omnibus Law kesehatan 2023 ini adalah perihal definisi tentang kesehatan itu sendiri yang menyebutkan: “Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.”

“Padahal, definisi kesehatan disitu seharusnya juga menambahkan kata ‘produktif spritual’ yaitu produktif bukan hanya dari sisi produktifitas fisik semata namun juga produktif sosial, Iptek dan Imtak,” jelas Zaenal.

Ia menyoroti, bahwa dalam UU Omnibus Kesehatan 2023 ini sangat banyak kebutuhan kesehatan masyarakat yang terabaikan.

“UU Omnibus Kesehatan 2023 ini tidak ada pembahasan ‘Sehat Sosial’ di dalam batang tubuhnya dan mengesankan Omnibus kesehatan merupakan UU kesehatan publik saja,” katanya.

Padahal menurut Zaenal, UU ini telah menghapuskan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; UU No. 36 Tahun 2009  tentang Tenaga Kesehatan; UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan; UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, kemudian menggabungkannya menjadi UU baru.

“Namun sayangnya, isi UU Omnibus Kesehatan 2023 ini tidak serius membahas tentang kesehatan masyarakat. Nyatanya tak satu pun pasal yang membahas Air Bersih dan Ketersediaannya, Udara Bersih, dan Ruang Terbuka Tak Berbayar untuk Berolahraga dan Rekreasi,” tegas Zaenal.

Persoalan lainnya yang disoroti ICMI, bahwa UU Omnibus Kesehatan ini juga telah meniadakan mandatory spending ditandai dengan tidak disinggungnya soal Pemimpin dan Kepemimpinan di bidang kesehatan.

Meski tetap membahas soal SDM Kesehatan. Padahal menurut Zaenal, masalah besar yang dihadapi sektor kesehatan saat ini bukan sekadar SDM kesehatan, tapi soal kepemimpinan yang semestinya mampu menginspirasi, mempersatukan (tidak memecah belah), membangun kesetaraan, dan membangun kolaborasi untuk mencapai cita- cita bersama.

“Karenanya, bila ada kebijakan transformasi kesehatan, apalagi kesehatan masyarakat, tapi minus kesehatan sosial, minus udara bersih, minus air bersih, minus ruang terbuka tak berbayar untuk berolahraga dan rekreasi, minus kepastian anggaran, dan minus kepemimpinan, lalu transformasi kesehatan apa yang diharapkan? Dan apanya yang integratif, holistik dan komprehensif jika istilah itu dikembalikan maknanya pada hal tersebut?” tegas Zaenal.

Dalam kesempatan yang sama, Ahli UU Kebijakan Publik yang juga Sekretaris Dewan Pakar ICMI, Profesor Didin Muhafidin menegaskan bahwa sebuah RUU memang harus sesuai dengan kebutuhan publik.

“Ya memang dalam negara demokrasi, hendaknya suatu Rancangan UU jika ingin disahkan maka ia harus sesuai dengan keinginan publik, bukan keinginan pemerintah sendiri,” kata Didin.

Oleh karena itu menurutnya, hendaknya UU Omnibus Kesehatan 2023 ini harus menjalani evaluasi kebijakan yang seharusnya berlangsung setidaknya 3 tahun dan maksimal 5 tahun.***