Islamofobia = Kebebasan Berekspresi?

Kolom Republika, oleh: Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

AYAH saya almarhum pernah marah lantaran adik saya memakai handuk bertuliskan namanya dengan huruf Arab. Katanya bisa kualat. Ia lantas meminta handuk itu untuk digunakan sebagai sajadah. Ayah saya — dan mungkin juga masyarakat pada umumnya — tampaknya menganggap tulisan Arab identik dengan Alquran dan, karena itu, ‘harus dihormati’. Bukan hanya tulisan Arab, masyarakat banyak yang menamai anaknya dari potongan ayat Alquran.

Dengan pemahaman seperti itu bisa dimaklumi apabila umat Islam marah besar ketika tahu Alquran dibakar oleh orang atau kelompok orang. Bagi umat Islam, Alquran adalah Kitab Suci. Ia merupakan pegangan hidup. Menyentuhnya pun harus dalam keadaan suci. Sabda Rasulullah Muhammad ﷺ, “Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara, yang (kalian) tidak akan tersesat selama (kalian) berpegang teguh pada keduanya, yaitu Alquran dan Sunahku.”

Pembakaran Alquran terbaru dilakukan Salwan Momika di depan sebuah masjid di Stockholm, ibu kota Swedia. Pria ini, 37 tahun, asli Irak yang pindah ke Swedia. Ia lalu jadi warga negara asal mobil Volvo itu. Dan, seperti sengaja meledek umat Islam, pembakaran itu dilakukan pada Rabu (28 Juni 2023), bersamaan dengan hari pertama umat Islam di banyak negara merayakan Idul Adha. Perbuatan Momika yang agitatif itu langsung menyulut kemarahan umat Islam di berbagai negara.

Sehari setelah peristiwa, berbagai kecaman pun muncul. Di Irak, demonstran menyerbu Kedubes Swedia di Baghdad, memprotes Stockholm yang mengizinkan warga Swedia asal Irak membakar Alquran. Gerak cepat pun diambil Kemenlu Irak. Mereka meminta pihak berwenang Swedia menyerahkan orang Irak yang membakar Alquran. Sikap penolakan juga disampaikan Amerika Serikat dan Rusia. Gedung Putih mengutuk pembakaran Kitab Suci umat Islam itu. Posisi lebih tegas ditunjukkan oleh Moskow. Kemenlu Rusia menolak toleransi otoritas Swedia terhadap ‘tindakan provokatif Islamofobia’ dan pembakaran Alquran dengan kedok ‘kebebasan berekspresi dan demokrasi’.

Kecaman terhadap pembakaran Alquran juga datang dari Aliansi Peradaban PBB, Sekretariat Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Arab, Dewan Kerja Sama Teluk, Parlemen Arab, Al-Azhar Mesir, Persatuan Internasional untuk Ulama Muslim, Majelis Ulama Indonesia, dan Dewan Tertinggi Islam Syiah di Lebanon. Pun dari hampir semua negara Arab dan negara Islam. Pada intinya, mereka tidak bisa menerima tindakan penuh kebencian dan berulang itu, dengan pembenaran apa pun. Tindakan membakar Alquran jelas menghasut kebencian, permusuhan, dan rasisme.

Kendati dikecam berbagai pihak, Salwan Momika tampak tak peduli. Laki-laki yang mengaku sebagai ateis sekuler itu kepada media Swedia Expressen edisi Kamis lalu mengatakan, “Dalam 10 hari, saya akan membakar bendera Irak dan Alquran di depan Kedubes Irak di Stockholm.” Ia mengaku menyadari sepenuhnya dampak dari apa yang ia telah lakukan, dan telah menerima ‘ribuan ancaman pembunuhan’.

Aksi pembakaran Alquran oleh Salwan Momika bukan yang pertama di Swedia — juga di Eropa — serta mungkin bukan yang terakhir. Pada Januari lalu, seorang politisi anti imigran Rasmus Paludan membakar Alquran di dekat Kedubes Turki di Stockholm. Lalu sekitar pertengahan April lalu, pria Denmark-Swedia ini kembali memimpin kelompok sayap kanan dan anti-Islam menggelar aksi pembakaran Alquran di beberapa kota di Swedia. Tindakan mereka disiarkan langsung lewat streaming, dan di bawah pengawasan dan penjagaan polisi dan pemerintah setempat.

Pembakaran Alquran semacam itu tentu terkait dengan fenomena Islamofobia yang muncul di negara-negara Barat, melalui media, dunia akademik, politik, dan wacana budaya dan sosial. Yang menjadi sasaran adalah segala atribut yang berhubungan dengan Islam dan umat Islam. Di Denmark, kartunis Kurt Westergaard (mendiang) pernah membuat marah umat Islam ketika karyanya yang menghina Nabi Muhammad ﷺ dimuat media Jyllands-Posten. Di Prancis, majalah Charlie Hebdo juga beberapa kali membuat berang umat Islam lantaran mempublikasikan kartun-kartun yang merendahkan Nabi Muhammad ﷺ. Di Belanda, politikus sayap kanan Geert Wilders, 59 tahun, juga sering menyulut kemarahan umat Islam. Pada 2008, pria yang dikenal anti-Islam dan anti imigran ini membuat film pendek berjudul ‘Fitna’, yang menyulut kontroversi.

Sikap sejumlah negara Eropa terhadap seseorang atau sekelompok orang yang menistakan Islam itu pun bagaikan koor. Yakni sebagai bentuk kebebasan berekpresi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan-kebebasan lainnya yang dijamin undang-undang. Tidak peduli perbuatan mereka telah membuat marah dan menyakiti hati lebih dari dua miliar Muslim di dunia. Tidak peduli aksi mereka telah melahirkan kebencian, permusuhan, dan rasisme. Yang jadi pertanyaan, mengapa negara-negara Eropa menjadi tidak bebas ketika membicarakan agama Yahudi? Yakni, mereka yang menyanggah adanya Holokaus dianggap sebagai anti-Semit. Siapa pun yang menolak Holokaus, menurut undang-undang sejumlah negara Eropa, bisa dikenai sanksi pidana. Padahal menurut sejarawan Inggris David Irving Holokaus hanyalah mitos.

Karena itu, sembari marah dan protes keras terhadap setiap aksi pembakaran Alquran dan tindakan anti-Islam dan umat Islam di Eropa, ada baiknya kita menyimak kembali pandangan mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. Menurutnya, masalah Islamofobia harus ditangani seperti menangani masalah penolakan terhadap Holokaus. Toh, negara-negara Islam kini telah tumbuh menjadi kekuatan dunia. Mereka bisa mencapai kebijakan kolektif yang bisa ‘dipaksakan’ di forum internasional. Dengan demikian bukan hanya yang anti-Semit atau menolak Holokaus yang dihukum, tapi yang juga menistakan agama-agama Samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab