Jokowi Larang Ekspor Migor, Pengamat: Kebijakan Tidak Efektif
Cibubur, Rasilnews – Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo ihwal larangan ekspor minyak goreng (migor) dan bahan bakunya. Ia menilai kebijakan yang dibuat pemerintah ini tidak akan efektif, karena pemerintah tidak memiliki tata niaga migor serta aturan tentang distribusi migor.
Diketahui, Jokowi mengumumkan larangan ekspor dalam pidatonya usai memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan rakyat, utamanya tentang kebutuhan migor di dalam negeri pada 22 April 2022. Kebijakan diambil di tengah masih naiknya harga migor di pasar dalam negeri.
“Pidato itu tidak didasarkan pada kenyataan bahwa sesungguhnya pemerintah tidak punya aturan tentang tata niaga minyak goreng, tidak punya aturan tentang distribusi dari huku ke hilir. Dari sana kebijakan apapun yang dibuat oleh pemerintah tidak akan efektif,” ujar Noorsy dalam wawancara Topik Berita Radio Silaturahim 720 AM, Selasa (26/4) pagi.
Jika pemerintah Indonesia melarang ekspor migor, lanjut Noorsy, kelebihan produksi di dalam negeri akan terbengkalai, sebab tidak semua pemilik kebun kelapa sawit memiliki unit industri untuk hilirisasi produknya.
“Kalau kita larang ekspor, kelebihan produksi mau dikemanakan. Tidak semua pemilik kelapa sawit bisa memiliki satu unit industri untuk hilirisasinya,” katanya.
Pelarangan ekspor belum tentu mampu membuat harga migor menjadi murah. Sementara dunia sangat tergantung dari produsen migor Indonesia, sehingga kebijakan ini malah menyebabkan Indonesia akan menuai gugatan dari kalangan internasional karena tidak bisa memenuhi perjanjian memasok migor dalam jumlah tertentu.
“Kemungkinan besar sejumlah perusahaan di Indonesia akan digugat di internasional karena tidak memenuhi perjanjian untuk memasok, itu yang digugat adalah pemerintah Indonesia. Dari situ soal efektivitas kebijakan menjadi lain lagi,” jelas Noorsy.
“Anda menghentikan produk yang sebagian besar perusahaan itu sudah punya kontrak jangka panjang untuk memenuhi itu (ekspor CPO),” sambungnya.
Dalam kajian ekonomi, kata Noorsy, hal itu disebut regulation risk, yaitu resiko negara yang disebabkan oleh suatu regulasi yang berubah-ubah. Ini akan berdampak pada ketentuan-ketentuan investasi, sementara Indonesia sendiri sangat bergantung pada investasi asing. “Kan Indonesia selalu haus dengan investasi asing,” sindir Noorsy.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif menegaskan bahwa pemerintah bukan melarang ekspor crude palm oil (CPO), melainkan refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit dan minyak goreng sawit (MGS).