Kekuasaan dan Jati Diri Sebenarnya

PAKAR politik, Ikrar Nusa Bhakti menyindir Presiden Joko Widodo dengan mengutip pernyataan Presiden ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln. Ia mengatakan, jika ingin melihat diri seseorang yang sebenarnya, maka berilah orang itu kekuasaan. Hal tersebut disampaikan Ikrar dalam program Gaspol! Kompas.com. Bahkan, ia menilai Jokowi seperti ingin menjadi ‘Raja Jawa Kecil’ dengan mulai membangun dinastinya sendiri. Tentu saja pendapat ini muncul ketika Jokowi sibuk menyiapkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto.

Kaitannya dengan ucapan Abraham Lincoln, kita bisa melihat bagaimana karakter asli seseorang akan muncul ketika dalam posisi memerintah orang lain. Apalagi di era teknologi sekarang, karakter atau atittude seseorang terang benderang telah tercatat di media sosial. Tidak bisa dihapus jejak digital di internet dan juga di memory setiap warga. Itulah sebabnya kita bisa melihatnya secara berulang-ulang, membandingkan apa yang diucapkannya di masa lalu, kemarin, dan saat ini. Jika tidak konsisten atau bahkan bertentangan dan bertolak belakang, akan jadi hal yang memalukan.

Terdapat hubungan bermakna antara kekuasaan dengan jati diri asli seseorang. Seseorang yang baik misalnya sangat peduli kepada kesejahteraan orang lain ketika memperoleh amanah dalam bentuk kekuasaan maka dia akan lebih banyak membuat kebijakan yang pro rakyat. Yang lebih penting lagi adalah ketika seorang penguasa akan segera berakhir kekuasannya, sikap apa yang akan ditunjukkannya.

Di luar sana, banyak orang yang tidak memahami bahwa jabatan yang diemban itu pada masanya pasti akan dipertukarkan kepada orang lain. Jabatan itu amanah yang tidak kekal. Orang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan jabatan tersebut. Kesadaran inilah yang terkadang hilang ketika jabatan itu akan berakhir dari dirinya, mereka merasa dunia seakan-akan sudah ‘kiamat’.

Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, serangan post power syndrome (penyakit kehilangan kekuasaan). Penyakit ini adalah penyakit yang paling banyak menyerang para pejabat yang sudah lengser dari tampuk kekuasaan. Banyak diantara mereka yang tidak siap. Jika selama ini memiliki kekuasaan untuk ‘menguasai’ orang lain, tiba-tiba kekuasaan itu hilang dan kehilangan tenaga tak berdaya. Dalam kondisi seperti ini biasanya mereka merasakan dirinya ‘tidak dianggap’ dan tak berguna.

Jika selama ini bisa memberikan perintah kepada orang lain, tiba-tiba tidak ada lagi orang yang mau menuruti perintahnya. Bahkan, tidak jarang dia kemudian yang diperintah oleh orang yang selama ini dia perintah. Pasti banyak yang tidak siap mental. Tapi itulah dinamika demokrasi. Dalam dunia kepemimpinan kita sudah mengenal istilah ‘siap diperintah dan siap memberi perintah’, siap dipimpin dan siap memimpin’. Mudah memang untuk diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan di lapangan. Faktanya, manusia lebih suka memerintah dari pada diperintah. Maka dari itu, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pemahaman yang mendalam akan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara. Dia kemudian tidak menjadikan jabatan satu-satunya cara untuk memberikan yang terbaik untuk negeri ini.

Kedua, kinerja. Apa yang dikerjakan selama ia menjabat sangat menentukan sikapnya ketika tidak lagi berkuasa. Jika selama menjabat ia benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga memiliki kinerja yang baik pula, maka ketika jabatan itu tidak lagi pada dirinya, dia tidak akan merasa kecewa.

Selama menjabat ia sudah memberikan segala kemampuan yang ia miliki untuk memberikan yang terbaik untuk negaranya, maka tidak ada rasa patah semangat ketika tidak menjabat. Namun jika selama ia menjabat hidupnya dipenuhi intrik dan minus prestasi, maka ia akan menjadikan jabatan itu satu-satunya penentu kualitas dirinya. Dia hanya bisa menggunakan jabatan sebagai satu-satunya ‘senjata’ untuk menguasai orang lain. Maka ketika jabatan itu hilang, ia akan kehilangan kekuatan dan lemah tak berdaya.

Ketiga, hubungan kerja politik. Jika selama ia menjabat memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya, baik koalisinya maupun oposisinya, maka ketika jabatan direnggut dari tangannya, ia tidak akan merasa sedih. Dia tidak serta merta kehilangan kehormatan dari orang-orang yang pernah dipimpinnya (rakyatnya). Dia tidak kehilangan wibawa dan karisma. Dia tetap dihormati walau sudah tidak lagi memegang jabatan. Hal ini akan berbeda jika hubungan antar manusia yang selama ia menjabat tidak dijaga dengan baik, maka ketika tidak lagi menjabat ia akan menjadi manusia yang dibenci. Orang-orang tidak menyukainya, kehilangan simpati, bahkan malah berkasus. Mantan pejabat semacam inilah sering ‘stres’ ketika kehilangan jabatan.

Akhirnya, hal-hal tersebut di atas bisa terjadi terhadap siapa saja. Dan respon terhadap situasi adalah gambaran utuh siapa anda sebenarnya. Positif atau negatif, itulah yang orang lihat. Ingatlah, jabatan hanyalah amanah yang sangat dinamis.

Wallāhu ‘alam bis-shawāb