Mencari Pemimpin di Tengah Rivalitas Superpower

Oleh: Mohamad Asruchin (Dubes RI untuk Uzbekistan tahun 2010-2014)

HAJATAN besar kenegaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI (Pilpres) serta pemilihan anggota Legislatif (Pileg) akan dilangsungkan pada tanggal 14 Februari 2024. Guna menyongsong satu abad kemerdekaan RI pada tahun 2045, maka Indonesia perlu mendapatkan pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan rakyat serta ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Ini berarti pemimpin Indonesia tidak hanya sekedar ‘jago kandang’ berkutat dengan urusan dalam negeri, tetapi sekaligus juga harus mampu berperan dan mewarnai dunia global.

Adapun perkembangan dunia saat ini sungguh memprihatinkan. Letupan konflik internal di Myanmar dan Sudan telah mengganggu stabilitas regional masing-masing. Perang Rusia-Ukraina, dan penyerangan Gaza yang membabi buta oleh Israel telah menjadi perhatian dunia, namun tidak mudah diselesaikan oleh PBB karena adanya dukungan negara besar pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB. Selain NATO yang merupakan aliansi militer, terdapat organisasi-organisasi internasional lainnya dengan basis kerjasama ekonomi bisa membicarakan masalah politik dan keamanan, seperti G-20, OIC, ASEAN, SCO, GCC, CELAC, MERCOSUR, dan BRICS.

Kebangkitan China di bidang ekonomi dan kemudian diikuti dengan pengembangan militernya telah mendorong negara tersebut lebih asertif dan memosisikan dirinya sebagai negara adikuasa baru di tataran regional maupun global. Perangai sebagai Superpower mulai ditunjukkan dengan tindakan unilateralnya untuk mengambil alih Taiwan jika perlu dengan kekerasan, mengklaim Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang di Laut China Timur, menetapkan ‘nine-dash line’ di Laut China Selatan dan klaim lebih dari 85 persen perairan tersebut, serta menggelontorkan grants dan loan yang kemudian dilanjutkan dengan Perjanjian Kerjasama Pertahanan dengan negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan. Sebagai pendukung utama konsep Indo-Pasifik, Amerika Serikat merasa terancam dengan pengaruh ekonomi, politik dan militer China di kawasan tersebut.

Pemerintah Beijing maupun Washington berusaha keras untuk menjadikan ASEAN sebagai ‘battleground’ untuk dikuasai atau berada di pihaknya. ASEAN memang dihadapkan pada dilema menghadapi tarikan dua Superpower untuk menggalang kerjasama yang lebih erat di sektor ekonomi dan perdagangan. ASEAN diharapkan kepiawaiannya dalam menjembatani dialog dan perundingan antara Amerika Serikat dan China guna menciptakan suasana kondusif di wilayah Indo-Pasifik. Namun dalam perjalanannya, ASEAN yang keanggotaannya sangat majemuk dari segi sosial, ekonomi dan politik ini membuat masalah Myanmar berlarut-larut, dan sikap berbeda-beda dalam menghadapi masalah Laut China Selatan. Kondisi ini sekaligus merupakan kelemahan dalam menerapkan sentralitas ASEAN menghadapi isu-isu penting.

Memperhatikan kondisi geostrategi-politik di wilayah Indo-Pasifik, maka selayaknya dalam memilih pemimpin tertinggi negara, rakyat Indonesia perlu menggunakan kriteria penting bahwa seorang pemimpin harus memiliki STAF, yaitu Siddiq (jujur), Tabligh (transparan), Amanah (dapat dipercaya), dan Fatonah (cerdas). Secara umum dapat diterjemahkan dengan figur yang mempunyai integritas, kapasitas, sinergitas, dan intelektualitas. Figur tersebut akan menunaikan kewajibannya bukan saja patuh kepada Undang-Undang negara di dunia tetapi dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di Yaumil akhir. Pemimpin harus bersikap transformasional, yaitu peduli terhadap bawahan, komunikatif, menumbuhkan kepercayaan (trust), rasa hormat (respect) dan berani mengambil resiko. Kepemimpinan transformasional berlawanan dengan transaksional, dimana semua dihitung berdasarkan untung rugi kepentingan sesaat.

Sosok pemimpin yang diperlukan dalam menyongsong Tahun Emas Kemerdekaan RI tahun 2045 adalah seorang figur yang mampu mengatasi permasalahan di dalam negeri dan berperan aktif di dunia internasional. Dia juga seorang visioner, memiliki ide-gagasan yang orisinal, bukan pesanan, serta rekam jejak kinerja yang baik tanpa pencitraan atau rekayasa. Dia haruslah sosok yang sudah selesai dengan dirinya, jauh dari perbuatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) maupun tersandera oleh kepentingan KKO (Keluarga, Kroni dan Oligarki), serta tidak lagi tergoda dengan ‘3 Ta’, yaitu harta, tahta dan wanita.

Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dunia setelah India dan Amerika Serikat, praktek demokrasi setiap kali diuji melalui pelaksanaan pemilihan Presiden dan anggota Parlemen. Pengalaman mengajarkan bahwa Pilpres dan atau Pileg yang bermasalah dapat menyulut protes dari rakyat menuju terbentuknya demonstrasi besar ‘People’s Power’ yang mengakibatkan kejatuhan suatu rezim. Seperti terjadi di Kyrgyzstan (2005, 2010, 2020), Filipina (1986) serta Indonesia (1998) semuanya didahului protes rakyat terhadap Pemilu yang cacat.

‘Lesson learned’ bahwa Pemilu yang sekedar formalitas memenuhi sistem demokrasi dapat menimbulkan masalah besar ketika proses dan pelaksanaannya terjadi kecurangan. Maka KPU dituntut menyelenggarakan Pilpres dan Pileg secara ‘jujur, adil dan transparan’, sehingga menghasilkan Pemimpin yang mempunyai kredibilitas dan legalitas kuat dalam memimpin bangsa Indonesia ke depan.

Wallāhu ‘Alam bis-shawāb