Proxy War LGBTQ

AKHIR-akhir ini kaum LGBTQ semakin terbuka dan berani dalam melaksanakan kegiatannya di hadapan publik, termasuk di Indonesia. Bahkan, kabarnya komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer se-ASEAN itu akan melakukan kumpul bareng di Jakarta pada 17-21 Juli 2023. Pertemuan bertajuk ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) merupakan tempat berkumpulnya para aktivis LGBTQ Asia Tenggara untuk saling terhubung serta memperkuat advokasi satu sama lain.

Mengutip berita republika.co.id, acara kumpul kaum LGBT se-ASEAN tersebut diorganisasi oleh ASEAN SOGIE Caucus, organisasi di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2021, bersama Arus Pelangi dan Forum Asia. Panitia acara ini tidak menyebutkan lokasi tepatnya. Akan tetapi, mereka telah memberikan informasi apa saja kegiatan yang dilakukan selama lima hari melalui akun media sosialnya @aseansoegicaucus. Namun, unggahan tersebut kini sudah hilang dari laman Instagram mereka.

Merespon isu ini, wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas mengatakan jika agenda tersebut benar-benar akan digelar di Jakarta, maka pemerintah telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dia menjelaskan, dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 telah dinyatakan bahwa negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sebagai konsekwensi logis dari pasal tersebut pemerintah tidak boleh memberi izin  terhadap  suatu  kegiatan  yang dilakukan di negeri ini yang bertentangan dengan nilai-nilai dari ajaran agama. Karena itu, MUI mengingatkan dan mengimbau pemerintah agar jangan memperkenankan dan  memberi izin terhadap diselenggarakannya acara tersebut.

Teringat apa yang dikatakan oleh mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, menurutnya, gerakan LGBT di Asia tidak bisa terlepas dari agenda ideologis dan geopolitik negara-negara Barat. Beliau pernah menuding bahwa gerakan hak-hak LGBT di Indonesia merupakan suatu taktik perang modern—ia menyebutnya proxy war—dari negara-negara Barat untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer. Taktik perang modern (nirmiliter) adalah cara Barat menerapkan bentuk penjajahan gaya baru, dari dominasi militer menjadi dominasi politik, ekonomi dan budaya. Dalam konteks ini, Barat telah menggunakan isu HAM untuk menarasikan hak-hak LGBT di kawasan Asia.

Pendapat ini diperkuat oleh pengamat militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, yang mengungkapkan bahwa kasus LGBT di Indonesia bisa jadi merupakan salah satu proxy war. Ia menjelaskan, menurut definisi proxy war adalah semua hal yang digunakan oleh musuh untuk mengguncang kehidupan sosial politik suatu negara. Dalam proxy war ini, semua hal yang dilakukan musuh kita lewat tangan yang lain. jadi bisa saja (LGBT termasuk proxy war). Dengan menunggangi isu hak-hak minoritas, pembangunan inklusi dan keberagaman, feminisme dan HAM.

Apalagi aktivis hak-hak LGBT telah menarik perhatian di sebagian besar negara-negara di Asia. Hasilnya, Asia Timur dan Asia Tenggara mengalami pergeseran sikap terhadap komunitas dan isu LGBT. “Being LGBT in Asia (Menjadi LGBT di Asia)” adalah proyek inisiatif pertama untuk mendukung orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender di Asia. Program ini bekerja untuk mendukung hak-hak dasar LBGT di seluruh benua, khususnya negara-negara fokus, termasuk Cina, Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Proyek ini digagas pada 2014-2017, melibatkan Kedutaan Besar Swedia di Bangkok bersama badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) dan Program Pembangunan PBB (UNDP) sebagai mitra pendanaan utama. Ada tiga poin yang menjadi tujuan proyek “Being LGBT in Asia”. Pertama, meningkatkan kapasitas kaum LGBT dalam mobilisasi advokasi kebijakan di negara sasaran. Kedua, meningkatkan kapasitas pemerintah, parlemen, dan penegakan HAM di negara sasaran agar tercipta aturan hukum yang melindungi kaum LGBT. Ketiga, mengurangi stigma dan diskriminasi yang dialami kaum LGBT.

Meskipun secara formal proyek ini sudah berakhir, tetapi proyek ini telah berpengaruh kuat bagi gerakan LGBT di Asia, termasuk di regional Asia Tenggara dan Indonesia. Sebut saja Taiwan, pelopor dalam mengakui pernikahan sesama jenis pada 2019, diikuti Thailand yang meloloskan RUU Kemitraan Sipil pada Juli 2020. Vietnam dipuji media Barat karena undang-undang progresifnya tentang hak-hak LGBT. Myanmar belum lama ini menyelenggarakan festival LGBT di depan umum untuk pertama kalinya dengan lebih dari 6.000 orang. Di Kamboja, perayaan tahunan “LGBT Pride” diadakan setiap tahun.

Dalam konteks Indonesia sebagai negeri muslim terbesar, isu hak-hak LGBT tidak hanya menjadi pertarungan nilai, melainkan pertarungan Islam versus sekularisme dan kapitalisme. Target dari pemaksaan dominasi ini tidak lain adalah sikap terbuka dan ramah menerima Barat dan agenda penjajahannya, serta mencabut ajaran Islam dari jati diri umat. Kondisi ini melahirkan keruntuhan moral Indonesia, agar mudah dieksploitasi seluruh kekayaannya demi kepentingan para kapitalis.

Permasalahan ini memberikan peringatan kepada kita umat Islam, agar tetap fokus pada pentingnya berpegang teguh terhadap Alquran dan Sunnah, menjauhi kemaksiatan, dan mengikuti jalan yang lurus. Saatnya kaum muslimin membina dirinya dengan meningkatkan pengetahuan Islam dan pola sikap qur’ani untuk menyiapkan dirinya terjun dalam pertarungan ide melawan semua narasi yang membahayakan iman.

Wallahu a’lam bishawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *