Sejalan dengan Bupati Meranti, Pengamat: Dana Bagi Hasil Tidak Adil untuk Daerah

Bekasi, Rasilnews – Pengamat Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy menyetujui pernyataan Bupati Kepualaun Meranti Muhammad Adil yang protes ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena adanya ketidakadilan dalam pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) minyak di wilayah pimpinannya dengan pemerintah pusat.

Noorsy pun mengaku tidak kaget dengan sikap Bupati Meranti itu. Menurutnya, ketidakadilan terkait DBH antara daerah dan pusat sudah sering terjadi.

“Saya tidak terkejut karena tidak ada yang baru. Format bagi hasil dengan perimbangan keuangan pusat-daerah tidak melahirkan rasa adil,” kata Noorsy dalam wawancara Topik Berita Radio Silaturahim (Rasil) 720 AM, Cibubur, Bekasi pada Selasa (13/12) pagi.

Noorsy mengatakan, adanya UU Cipta Kerja yang berlaku membuat Pemerintah Daerah tidak memiliki kontrol atas wilayah kepemimpinannya karena semua akan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, bahkan termasuk soal Pemilu.

“Yang mengeluh seperti Bupati Meranti bukan cuma satu. Apalagi dengan berlaku UU Cipta Kerja ya, nanti kalau berlaku UU itu secara penuh nanti bupati udah nggak ada urusan dengan hasil pemilu tingkat II (Kabupaten/Kota), tingkat I (Provinsi) nggak ada urusan,” jelasnya.

Sebelumnya, pernyataan keras Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil yang menyebutkan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai iblis atau setan memicu perseteruan. Adil mengatakan Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah Kepulauan Meranti.

Melansir Tempo, pernyataan itu dilontarkan lantaran Bupati Meranti memprotes soal dana bagi hasil (DBH) untuk daerah penghasil minyak dan gas (Migas). Adil menilai daerahnya tak pernah menerima rincian penerimaan daerah atas hasil sumber daya alam dan dana yang diterima daerahnya pun diklaim sangat kecil.

“Ini orang Keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Gak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Daripada uang kami dihisap oleh pusat,” ujar Adil dalam video berdurasi 1 menit 55 detik yang viral di sosial media belakangan ini.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Ichsanuddin Noorsy menyerukan perbaikan peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di setiap daerah.

“Realisasi bagi hasil, dari mulai pembahasan di DPR sampai dengan realisasi di Kemenkeu dan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) itu menjadi masalah tersendiri. Birokrasinya memang panjang. Itulah pentingnya memperbaiki peranan BPD agar BPD bukan hanya sebagai simbol dan tidak bisa bikin apa-apa saat otoritas daerah mengeluh,” ujar narasumber Rasil setiap Selasa di acara Topik Berita Rasil itu.

“Pasal 18 Tahun 2002, BPD cuma simbol seakan-akan daerah terwakili padahal dalam persoalan kayak gini nggak sama sekali dan itu menunjukkan ada problematika dalam konstitusi kita, konstitusi yang diamandemen,” sambung Noorsy.

Adanya UU Cipta Kerja, menurutnya, menambah problematika yang ada. Pasalnya peraturan tersebut membuat Pemerintah Daerah kehilangan kewenangan.

“Kemudian muncul UU Cipta Kerja memperdalam problematika yang ada. Daerah betul-betul tidak bisa bikin apa-apa. Menariknya, saat UU Cipta Kerja diujikan dengan model begitu, itu mereka diam. Itu yang saya bahas di beberapa kajian di daerah tingkat II dan tingkat I,” ucapnya.

Noorsy menilai, saat UU Cipta Kerja diuji dan banyaknya Pemerintah Daerah yang memilih diam, itu dikarenakan banyaknya pejabat daerah yang menggunakan sistem “lobi” untuk mendapat keuntungan tertentu.

“Ini bukti bahwa sistem politik kita buruk, mental birokrasi itu buruk. Selama ini, kenapa beberapa daerah diam karena mereka menggunakan lobi, tidak seperti Bupati Meranti yang memohon waktu dengan formil. Lobi tahu sendiri kan, ada biayanya,” kata dia.

“Indonesia kan biaya lobinya masuk di kantong pejabat, masuk pihak-pihak tertentu. Apalagi kalau orang pusat punya bisnis di daerah bersangkutan, wah, udah habis. Sekali lagi, ini pengalaman dan pengetahuan saya di lapangan sebagai narasumber mereka dan sebagai bagian dari upaya kita memperbaiki akuntabilitas publik pemerintah daerah,” pungkas Noorsy.

Di sisi lain, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan pihaknya keberatan dan menyayangkan pernyataan Bupati Meranti itu.

“Pernyataan Bupati Meranti, Muhammad Adil yang sungguh-sungguh tidak adil yang mengatakan pegawai Kementerian Keuangan iblis atau setan,” ungkapnya dalam video singkat yang dikutip Kumparan, Senin (12/12).

“Ini jelas ngawur dan menyesatkan,” sambung Yustinus.

Dia mengatakan, Kemenkeu telah sesuai dengan UU untuk menghitung dan menggunakan data resmi Kementerian ESDM dalam membagi Dana Bagi Hasil (DBH).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *