“Tajuk Rasil” Kenaikan BBM dan Penderitaan Rakyat

Senin, 9 Shafar 1444 H/ 5 September 2022

Banyak pihak yang merasa prihatin dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga BBM ini pasti akan menyasar berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kenaikan BBM yang baru dirilis pemerintah Sabtu lalu, niscaya diikuti kenaikan seluruh harga kebutuhan pokok. Namun secara fakta, kenaikan seluruh harga kebutuhan pokok itu tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan.

Merespons kenaikan harga ini yang berkisar 30% ini, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardhana secara tegas menyatakan hal ini harus ditolak karena akan menyengsarakan rakyat. Dikatakannya Agung melalui kanal Justice Monitor, “Kenaikan harga BBM ini harus ditolak karena akan menyengsarakan dan menzalimi rakyat.

Ia menjelaskan, saat ini rakyat sedang mengalami tekanan demi tekanan. “Efek pandemi yang belum pulih, PPN yang naik 11%, harga-harga komoditas yang meroket, juga BPJS yang menjadi syarat untuk pelayanan publik membuat rakyat seolah belum selesai sakitnya, sudah terjatuh, kemudian ditimpa tangga,” ungkapnya miris.

Apalagi, lanjutnya, kenaikan harga ini akan menaikkan inflasi di Indonesia 6 sampai 8%. “Pertanyaannya, apakah hal ini tidak dimengerti? Inflasi akan berpengaruh terhadap kenaikan harga pangan yang akan menambah beban rakyat. Akibatnya, angka kemiskinan juga akan meningkat”. Ia juga mengatakan, diprediksi gelombang PHK akan makin besar, gelombang pengangguran meningkat, kemiskinan meningkat. Sementara itu, beberapa kalangan menengah ke atas merasa santai karena pendapatan mereka tinggi.

Masalahnya bagaimana rakyat Indonesia yang miskin ini? Memang, ada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diluncurkan. “Namun, Rp600.000 untuk 4 bulan itu bisa menyelesaikan apa?” Sering dikritisi bahwa skema kompensasi BBM seperti BLT hanya menjadi “pemanis” sementara. Karena tidak akan sanggup membantu masyarakat miskin dan menengah ke bawah dalam jangka panjang. Lagipula BLT bukanlah proses pembangunan yang berkelanjutan bagi rakyat.

Dikutip dari Republika.co.id, DR. Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan, dalam tulisannya menjelaskan bahwa harga BBM yang dinaikkan pemerintah karena subsidi BBM dinikmati si kaya adalah salah sasaran. Nah, dari dulu masa salah sasaran melulu, padahal sudah 8 tahun berkuasa. Masa delapan tahun tidak mampu memperbaiki bila subsidinya masih dinikmati oleh pihak yang seharusnya tidak menikmati subsidi? Nah, bagaimana politik subsidinya selama itu?

Kenaikan harga BBM akan menimbulkan inflasi berantai. Untuk itu, pemerintah memberikan Bansos sampai akhir tahun, setiap bulan Rp150.000,- atau Rp 600.000,- kepada kaum yang membutuhkan, dikelola Kementerian Sosial. Solusi ini, seakan akan inflasinya akan berakhir akhir tahun. Padahal, kita tahu setelah tidak ada Bansos, inflasi tetap berlanjut. Karena itu, tidak heran bila kita sering dengar statement lebih baik tidak ada tambahan Bansos asalkan harga BBM tidak naik. Resep ini juga sama dengan yang dulu dulu ketika menaikkan harga BBM, yaitu mau mengalihkan subsidi kepada yang berhak. Rupanya tidak berhasil atau cuma lips service?

Kini Pemda juga diimbau untuk mencegah dampak inflasi dari kenaikan harga BBM ini dengan menggunakan anggaran darurat yang dipunyainya. Masih belum jelas berapa dananya dan mekanismenya sementara inflasi tidak bisa menunggu. Bank Indonesia (BI) yang sebenarnya relatif berhasil mengendalikan inflasi, kali ini sekurang-kurang harus merevisi forecast angka inflasi sampai akhir tahun di samping meninjau kembali suku bunga.

Pemerintah harusnya konsekuen bahwa yang diatur harganya hanya yang disubsidi saja di APBN, yaitu Pertalite dan Bio Solar sebab dua item ini yang ada di APBN. Namun, kenapa ada Pertamax yang ikut diatur harganya dari Rp 12.500,- dinaikkan menjadi Rp14.500,-? Dan Vivo yang malah di minta menaikkan harga? Pemerintah harus konsekuen bahwa tidak mengatur yang tidak disubsidi sebab katanya sudah bebas menggunakan harga pasar. Apalagi, intervensinya malah menaikkan harga.

Melihat situasi ini, apakah masih ada pejabat atau politikus negeri ini yang ingat dengan “Amanat Penderitaan Rakyat“ berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1, sebuah kalimat tertera hitam di atas putih bahwa Fakir Miskin dan Anak-Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara. Pada hakikatnya, UUD 1945 ayat 34 ayat 1 merupakan upaya pengejawantahan sila Kemanusiaan Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia menjadi kenyataan.

Wallahu a’lam bis shawaab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *