Ulama dan Pilihan Politik

Tajuk Rasil
Kamis, 23 Jumadil Awwal 1445 H/ 7 Desember 2023

Oleh: Ustadz Shamsi Ali, Diaspora Indonesia dan Imam di kota New York

Penulis kali ini memakai gelar “Ustadz” di depan namanya. Sebuah gelar yang lebih dikenal di Indonesia sebagai seseorang yang memiliki keilmuan Islam dan bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan. Walaupun kata ini juga bisa berarti “professor” (guru besar). Tapi bisa juga sekedar panggilan penghormatan untuk seseorang. Seorang tukang roti di Mesir juga biasa disapa “ya Ustadz”.

Selama ini dalam kapasitas saya di bidang keagamaan telah digelari macam-macam. Pernah digelari Kyai, Maulana atau Malvi (gelar guru agama di India Pakistan), Huzur (Bangladesh), dan juga Syeikh di kalangan masyarakat Arab. Kata Imam sendiri adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh warga kepada tokoh agama di Amerika dan dunia Barat secara umum. Yang semua itu sesungguhnya tidak penting. Yang lebih penting adalah substansi dari gelar-gelar itu. Kata “ustadz”, gelar inilah yang paling populer dan umum di gunakan untuk guru dan tokoh agama di Indonesia. saya ingin menjawab banyak pertanyaan yang masuk ke media sosial saya tentang “perlunya para Ustadz menentukan pilihan politik”.

Saya ingin memulai dengan menekankan sekali lagi bahwa politik adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Politik adalah “siasatul hayaah” (menejemen hidup) dalam segala aspeknya. Makanya kita kenal “politik ekonomi”, “politik hubungan internasional” dan seterusnya. Intinya tak ada satu orang pun yang bisa melepaskan diri dari politik. Belakangan kita dengar kata “politik praktis” yang umumnya diasosiasikan dengan wajah kotor. Bahwa politik praktis itu jahat, busuk, penuh dengan intrik dan tipuan. Politik praktis hanyalah jalan untuk memenuhi nafsu dan kerakusan kekuasaan.

Pelabelan ini sangat tidak mendasar dan salah. Karena politik, termasuk apa yang disebut politik praktis hanyalah jalan. Yang menentukan sesungguhnya adalah siapa yang menjalaninya. Agama saja jika dijalani secara salah oleh orang-orang jahat akan nampak sebagai kejahatan. Lalu adilkah agama dilabeli sebagai kejahatan? Kembali kepada pertanyaan tentang perlukah para ustadz menentukan pilihan politiknya? Jawaban saya jelas dan tegas. Tidak saja perlu, tapi para ustadz harus menentukan pilihan politiknya. Ada beberapa alasan kenapa para ustadz, kyai, Syeikh, Imam, Maulana, Malvi, Huzur, dan gelar apapun yang dikenal bagi mereka untuk menentukan dan terlibat langsung dalam pilihan politik.

Satu, para ustadz adalah warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Pilihan politik adalah salah satu hak, bahkan tanggung jawab warga negara. Karenanya para ustadz juga memiliki hak dan tanggung jawab politik ini. Dua, sebagai manusia ustadz itu juga punya tabiat dasar dalam hal pikiran dan kebebasan, termasuk kebebasan memilih. Berdasarkan tabiat dasar berpikir dan kebebasan yang dimilikinya seorang ustadz pastinya ada pertimbangan dan tendensi dalam pilihan. Termasuk di dalamnya pilihan politiknya.

Tiga, para ustadz itu harusnya memiliki keilmuan dan “fondasi nilai” tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang manfaat dan mana yang mudharat. Mana yang membawa keuntungan dan mana yang merugikan (dunia akhirat). Pilihan politiknya tidak terseret oleh pandangan-pandangan pragmatis semata. Tapi didorong oleh ilmu dan fondasi nilai yang dimilikinya. Empat, para ustadz itu punya misi hidup sekaligus tanggung jawab “amar ma’ruf nahi mungkar”. Pilihan politik adalah bagian dari jalan menegakkan tugas mulia itu. Hasil pilihan politik akan banyak menentukan nilai-nilai kebaikan (ma’ruf) atau sebaliknya menjadi jalan keburukan (mungkar) dalam kehidupan.

Lima, walaupun saya yakin pada aspek ini bisa saja menjadi perbincangan sekaligus perbedaan pendapat. Bahwa para ustadz itu pastinya pada tataran tertentu memiliki dan sekaligus panutan komunitas. Karenanya pilihan politik seorang ustadz adalah pilihan yang dipertanggung jawabkan karena bisa diikuti oleh masyarakat. Pada tataran ini saya yakin seorang ustadz akan berhati-hati karena bisa menjadi jalan kebaikan atau sebaliknya jalan keburukan bagi banyak orang.

Pada akhirnya saya ingin menekankan bahwa mempertanyakan sikap seorang Ulama/ustadz karena pilihan politiknya sangat tidak pada tempatnya. Justeru sebaliknya yang perlu dipertanyakan adalah sikap para Ustadz yang tidak punya pilihan. Ketika ustadz diam dan pasif maka boleh jadi itu akan menjadi contoh yang kurang baik bagi masyarakat. Yang lebih runyam lagi adalah ketika ustadz itu menentukan pilihan karena sekedar dorongan pragmatis. Boleh jadi karena ustadz itu di “caleg” kan, atau sekedar karena pesantrennya dapat sumbangan dari calon tertentu. Bukan karena pertimbangan “nilai” kebenaran dan keadilan. Yakinlah jika hal ini akan menjadi bagian dari pertanggung jawabannya di dunia sebelum di akhirat.

Pilihan politik memang tidak bersifat “hitam putih”. Tidak juga harusnya dipahami bahwa pilihan politik untuk yang “satu” itu mendominasi kebenaran, lalu pilihan politik yang “dua” atau “tiga” itu mutlak salah dan buruk. Benar atau salah, baik atau buruk, sesungguhnya lebih ditentukan oleh motivasi dan kriteria yang diambil oleh para ustadz dalam pilihan politiknya. Sekali lagi, ustadz itu pijakannya adalah nilai kebenaran dan keadilan, bukan karena tendensi pragmatis semata. Doa dan harapan saya selalu semoga pemilu kali ini lancar, aman, jujur adil, dan tentunya mendapatkan hasil yang diharapkan. Sehingga betul-betul akan membawa umat, bangsa dan negara ke arah yang lebih baik, makmur berkeadilan dan diridhoi Allah SWT. Amin!

Wallāhu ‘Alam bis-shawāb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *