Cibubur, Rasilnews — Konflik geopolitik di Timur Tengah menunjukkan dinamika yang semakin kompleks. Negara-negara Arab Teluk yang sebagian besar berbentuk monarki absolut, dinilai memiliki kelemahan dalam hal kekuatan militer dan persenjataan. Hal ini menjadi kontras dengan Iran, yang berbentuk republik dan memiliki kekuatan militer yang signifikan di kawasan.
“Negara-negara Arab memang sengaja menjaga jarak dengan Iran karena perbedaan bentuk pemerintahan dan posisi kekuatan militer. Iran bukan monarki, melainkan republik, dan sangat kuat secara militer di kawasan Timur Tengah,” ungkap Smith Alhadar, pengamat Timur Tengah dan penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) dalam program Buka Mata Buka Telinga, Ahad (29/06) di Radio Silaturahim.
ISMES sendiri merupakan organisasi nirlaba yang berdiri sejak 17 Januari 1997 dan berfokus pada penelitian serta studi mengenai Timur Tengah, khususnya dalam bidang hubungan internasional. Organisasi ini menjadi ruang kolaborasi bagi para akademisi, peneliti, dan praktisi yang tertarik pada berbagai aspek kawasan Timur Tengah.
Smith Alhadar menambahkan bahwa sejak kemenangan Revolusi Islam Iran pada Februari 1979, gelombang gerakan Syiah di kawasan mulai menggeliat. Komunitas Syiah di Bahrain, yang merupakan mayoritas di negara tersebut, pernah turun ke jalan dalam aksi-aksi perlawanan terhadap monarki. Bahkan, pada November 1979, komunitas Syiah di Arab Saudi juga menggelar demonstrasi anti-monarki, menandai kecemasan negara-negara Teluk terhadap pengaruh revolusi Iran.
Menurut Smith, di Irak yang mayoritas penduduknya juga Syiah, pengaruh Iran tidak bisa diabaikan. Namun sejak wafatnya Ayatullah Ruhullah Khomeini, arah kebijakan luar negeri Iran mulai berubah di bawah kepemimpinan Ayatullah Ali Khamenei. “Iran mulai mengambil jalur yang lebih rasional dan tidak lagi mengekspor revolusi Islam secara terbuka seperti era Khomeini,” ujarnya.
Dirinya juga mengingatkan bahwa Iran tetap menolak kehadiran Amerika Serikat dan Israel di kawasan. “Iran menganggap keberadaan dua negara itu sebagai bentuk penjajahan modern. Iran ingin pengaruh mereka terusir dari kawasan,” tegas Smith,
Kondisi ini menjadikan negara-negara Arab berada di posisi yang sulit. Mereka sadar akan potensi ancaman Iran, tetapi pada saat yang sama mereka sangat bergantung pada perlindungan Amerika Serikat. Dilema ini memuncak saat Presiden AS Donald Trump pada 2020 memediasi normalisasi hubungan antara Israel dan empat negara Arab: Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Rencana normalisasi Arab Saudi dengan Israel pun sempat santer terdengar sebelum pecahnya konflik pada 7 Oktober 2023, saat serangan Hamas terhadap Israel meletus. Namun, sejak meningkatnya kekejaman Israel di Gaza, simpati publik Arab terhadap Israel jatuh ke titik nadir.
“Jika mereka mendukung Iran, mereka akan kehilangan dukungan Amerika Serikat. Namun, jika mereka mendukung Israel, mereka akan kehilangan simpati dari rakyatnya sendiri,” ujar Smith.
Menurutnya, para pemimpin Arab kini terjebak dalam posisi dilematis. “Saat ini, tak ada satu pun negara Arab yang berani secara terang-terangan membuka hubungan dengan Israel. Mereka berada dalam kebingungan strategis, sehingga lebih memilih menjadi penonton dalam konflik Iran-Israel,” pungkasnya.