Andai Kita Menjadi Orang Palestina

LAGA FIFA Friendly Match antara Indonesia melawan Palestina baru saja usai. Kedua kesebelasan harus puas mengakhiri pertandingan dengan skor kacamatan 0-0. Terlepas dari permasalahan teknis sepak bola siapa yang bertanding lebih baik, pertandingan kemarin malam menjadi pengingat bagi kita jika masih ada negeri terjajah bernama Palestina.

Menjadi warga kelas dua seperti yang dialami orang-orang Palestina amat sulit. Namun, bangsa Indonesia pernah merasakannya saat menderita akibat penjajahan kolonial Belanda. Dulu, Belanda membuat tiga kelas dalam struktur masyarakat kita. Peringkat pertama adalah orang Eropa asli alias kulit putih. Warga kelas dua, yakni mereka yang berstatus sebagai peranakan dan orang keturunan, baik Tionghoa maupun Arab. Orang asli Indonesia ada di level paling bawah, yakni pribumi atau inlander. Saking rasialnya Belanda, ada pengumuman di tempat-tempat pertemuan: ‘Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk’.

Jika perlakuan diskriminatif ala kolonial itu sudah menjadi cerita lalu, coba simak bagaimana orang-orang Palestina diperlakukan sekarang.  

Sebagai contoh, di Israel ada sekitar 20 persen warga Arab. Mereka adalah warga yang memutuskan tidak ikut mengungsi setelah pendudukan pada 1948. Meski bisa masuk ke dalam gelanggang politik, mereka telah lama mengalami diskriminasi dari sisi pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

Dalam UU Negara Bangsa Yahudi yang disahkan pada 2018, Israel bahkan hanya mendaulat Yahudi sebagai bangsa yang berhak menentukan nasib sendiri di negara itu. Itu cerita mereka yang memutuskan menjadi warga Israel.

Bagi mereka yang memilih untuk menjadi warga Palestina, ceritanya lebih pilu. Bagi yang tinggal di Jalur Gaza, mereka seolah harus hidup di penjara terpadat di dunia dengan populasi mencapai 2 juta jiwa. Ruang gerak mereka dibatasi.

Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang menganut rasialisme dalam sistem keagamaan mereka, Islam justru lebih terbuka. Setiap warga bangsa bisa menjadi pemeluk agama ini. Apakah dia berasal dari bangsa Arab, Melayu, Cina, Eropa, bahkan dari keturunan Yahudi sekali pun bisa memeluk Islam.

Kebinekaan ini disampaikan Allah SWT dalam Alquran Surat Al-Hujuraat ayat 13. Rasulullah ﷺ pun memperjelas makna ayat tersebut. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab. Begitu pula, orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. Karena itu, jika seseorang memutuskan untuk bersyahadat menjadi Muslim, kebangsaan dan warna kulit tak akan membuat mereka lebih mulia daripada Muslim lainnya.

Di antara mereka pun terjalin satu persaudaraan yang erat. Persaudaraan karena iman. Dalam riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ membuat suatu perumpamaan yang indah mengenai hubungan di antara orang-orang mukmin. Mereka layaknya satu tubuh. Jika salah satu anggota mengeluh sakit, seluruh tubuh turut merasakan demam dan sulit tidur.

Dalam hadis lainnya, hubungan orang mukmin diibaratkan sebagai satu bangunan yang menguatkan bangunan lainnya. Untuk mendeskripsikannya, Rasulullah memasukkan jari-jemari beliau ke jemari tangan lainnya.

Dengan demikian, sudah selayaknya kita memberi dukungan terbaik kepada warga Palestina yang sedang menghadapi gempuran negara teroris-Zionis Israel. Sakit mereka menjadi sakit kita. Perih mereka menjadi perih kita. Pilu mereka menjadi pilu kita.

Jika kita masih bisa menjenguk hijaunya pepohonan dan warna-warni bunga dari bilik jendela sambil menikmati sarapan pagi, mereka warga Palestina melongok pemandangan berbeda. Rumah dan bangunan yang lantak akibat rudal-rudal pasukan negara teroris Israel.

Seorang ayah asal Gaza, Arwa Ibrahim, bahkan mengaku melakukan sesuatu yang di luar nalar sebagai upaya menyelamatkan keturunannya. Dia menukar dua anaknya dengan dua anak saudaranya. Jika sewaktu-waktu rumahnya dibom, keturunannya masih bisa hidup. Demikian dengan saudaranya.

Karena itu, menjadi penting untuk membangun kesadaran jika Palestina dan Masjidil Aqsha adalah hak umat Islam sejak Khalifah Umar bin Khattab menaklukkannya. Kecintaan umat kepada Palestina menjadi bukti kecintaannya kepada Allah SWT. Kita patut membangun izzah seperti apa yang dilakukan Sultan Abdul Hamid 2 saat menolak sogokan Theodorl Herzl untuk tanah Palestina. Tanah itu adalah hak umat Islam! Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka.

Laga FIFA Friendly Match antara Indonesia melawan Palestina baru saja usai. Kedua kesebelasan harus puas mengakhiri pertandingan dengan skor kacamatan 0-0. Terlepas dari permasalahan teknis sepak bola siapa yang bertanding lebih baik, pertandingan kemarin malam menjadi pengingat bagi kita jika masih ada negeri terjajah bernama Palestina.

Menjadi warga kelas dua seperti yang dialami orang-orang Palestina amat sulit. Namun, bangsa Indonesia pernah merasakannya saat menderita akibat penjajahan kolonial Belanda. Dulu, Belanda membuat tiga kelas dalam struktur masyarakat kita. Peringkat pertama adalah orang Eropa asli alias kulit putih. Warga kelas dua, yakni mereka yang berstatus sebagai peranakan dan orang keturunan, baik Tionghoa maupun Arab. Orang asli Indonesia ada di level paling bawah, yakni pribumi atau inlander. Saking rasialnya Belanda, ada pengumuman di tempat-tempat pertemuan: ‘Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk’. Jika perlakuan diskriminatif ala kolonial itu sudah menjadi cerita lalu, coba simak bagaimana orang-orang Palestina diperlakukan sekarang.

Sebagai contoh, di Israel ada sekitar 20 persen warga Arab. Mereka adalah warga yang memutuskan tidak ikut mengungsi setelah pendudukan pada 1948. Meski bisa masuk ke dalam gelanggang politik, mereka telah lama mengalami diskriminasi dari sisi pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Dalam UU Negara Bangsa Yahudi yang disahkan pada 2018, Israel bahkan hanya mendaulat Yahudi sebagai bangsa yang berhak menentukan nasib sendiri di negara itu. Itu cerita mereka yang memutuskan menjadi warga Israel. Bagi mereka yang memilih untuk menjadi warga Palestina, ceritanya lebih pilu. Bagi yang tinggal di Jalur Gaza, mereka seolah harus hidup di penjara terpadat di dunia dengan populasi mencapai 2 juta jiwa. Ruang gerak mereka dibatasi.

Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang menganut rasialisme dalam sistem keagamaan mereka, Islam justru lebih terbuka. Setiap warga bangsa bisa menjadi pemeluk agama ini. Apakah dia berasal dari bangsa Arab, Melayu, Cina, Eropa, bahkan dari keturunan Yahudi sekali pun bisa memeluk Islam. Kebinekaan ini disampaikan Allah SWT dalam Alquran Surat Al-Hujuraat ayat 13. Rasulullah ﷺ pun memperjelas makna ayat tersebut. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab.

Begitu pula, orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. Karena itu, jika seseorang memutuskan untuk bersyahadat menjadi Muslim, kebangsaan dan warna kulit tak akan membuat mereka lebih mulia daripada Muslim lainnya. Di antara mereka pun terjalin satu persaudaraan yang erat. Persaudaraan karena iman. Dalam riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ membuat suatu perumpamaan yang indah mengenai hubungan di antara orang-orang mukmin. Mereka layaknya satu tubuh. Jika salah satu anggota mengeluh sakit, seluruh tubuh turut merasakan demam dan sulit tidur.

Dalam hadis lainnya, hubungan orang mukmin diibaratkan sebagai satu bangunan yang menguatkan bangunan lainnya. Untuk mendeskripsikannya, Rasulullah memasukkan jari-jemari beliau ke jemari tangan lainnya. Dengan demikian, sudah selayaknya kita memberi dukungan terbaik kepada warga Palestina yang sedang menghadapi gempuran negara teroris-Zionis Israel. Sakit mereka menjadi sakit kita. Perih mereka menjadi perih kita. Pilu mereka menjadi pilu kita.

Jika kita masih bisa menjenguk hijaunya pepohonan dan warna-warni bunga dari bilik jendela sambil menikmati sarapan pagi, mereka warga Palestina melongok pemandangan berbeda. Rumah dan bangunan yang lantak akibat rudal-rudal pasukan negara teroris Israel. Seorang ayah asal Gaza, Arwa Ibrahim, bahkan mengaku melakukan sesuatu yang di luar nalar sebagai upaya menyelamatkan keturunannya. Dia menukar dua anaknya dengan dua anak saudaranya. Jika sewaktu-waktu rumahnya dibom, keturunannya masih bisa hidup. Demikian dengan saudaranya.

Karena itu, menjadi penting untuk membangun kesadaran jika Palestina dan Masjidil Aqsha adalah hak umat Islam sejak Khalifah Umar bin Khattab menaklukkannya. Kecintaan umat kepada Palestina menjadi bukti kecintaannya kepada Allah SWT. Kita patut membangun izzah seperti apa yang dilakukan Sultan Abdul Hamid 2 saat menolak sogokan Theodorl Herzl untuk tanah Palestina. Tanah itu adalah hak umat Islam! Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka.

Wallahu ‘alam bis shawab