Dampak Krisis Konstitusional Jika Pemilu Ditunda

Oleh Andri Saubani, Redaktur Republika

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pada 14 Desember 2022 mengumumkan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024. Di antara parpol yang tidak lolos adalah Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Tak puas dengan keputusan KPU atas hasil verifikasi aktual parpol, Partai Prima kemudian mengajukan gugatan secara simultan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan gugatan lainnnya dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan keluar putusan dari PN Jakpus yang membuat geger dunia perpolitikan Tanah Air.

Dalam putusannya, PN Jakpus menghukum Tergugat, yakni KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Sontak, putusan PN Jakpus memicu kegaduhan dan respons negatif mulai dari politisi, pakar hukum, hingga kalangan pemerintah.

Menko Polhukam Mahfud MD lewat akun Twitter-nya bahkan sampai menyerukan perlawanan terhadap putusan PN Jakpus. Gugatan Partai Prima yang diterima PN Jakpus dianalogikan Mahfud seperti Peradilan Militer yang menyidangkan kasus perceraian.

Partai Prima sebagai penggugat, sepertinya juga tidak menyangka kegaduhan akibat putusan PN Jakpus akan seperti sekarang ini. Lewat keterangan pers para elitenya setelah putusan, Partai Prima menegaskan bahwa tujuan dari gugatan mereka adalah agar KPU dapat meloloskan Partai Prima sebagai peserta Pemilu 2024 tanpa niat memundurkan pesta demokrasi yang sesuai konstitusi kita digelar tiap lima tahunan.

KPU sebagai pihak tergugat memang segera merespons putusan PN Jakpus dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, menurut ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, banding KPU bisa menjadi tidak berarti jika PT DKI Jakarta mengeluarkan izin eksekusi putusan.

Mengapa pengadilan banding bisa berwenang mengeksekusi putusan PN Jakpus?

Yusril menjelaskan, dalam putusan perkara perdata Partai Prima, majelis hakim tidak hanya menghukum KPU RI untuk menghentikan tahapan Pemilu 2024 dan mengulang semua tahapan sedari awal alias tunda pemilu. Majelis hakim juga menyatakan bahwa, “putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta.”

Putusan serta merta itu, kata dia, berarti semua amar putusan harus dilaksanakan meskipun masih ada upaya hukum banding dan kasasi. Meski eksekusi bisa dilakukan tanpa harus menunggu putusannya berstatus inkrah, tapi juru sita PN Jakpus tetap harus mendapat izin eksekusi dari Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Apabila tidak diberikan izin, maka putusan tersebut “menjadi normal” karena harus menunggu status inkrah terlebih dahulu untuk dieksekusi. Namun, apabila Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan izin eksekusi, maka PN Jakpus akan mengeluarkan surat penetapan eksekusi.

Parpol-parpol peserta Pemilu 2024 yang menjadi ikut terdampak atas PN Jakpus memang punya kesempatan mencegah eksekusi putusan lewat gugatan verzet. Namun, jika nantinya gugatan verzet itu ternyata nantinya juga ditolak PN Jakpus, berarti putusan tunda pemilu harus dieksekusi. Jika skenario di atas terjadi, penundaan pemilu akan memiliki dampak konstitusional yang luar biasa bagi Indonesia. Salah satunya soal masa jabatan pejabat publik yang selama ini diisi lewat pemilu.

Para pejabat publik seperti presiden dan wakil presiden bakal habis masa jabatannya pada 2024. Akan tetapi, jika pemilu tidak digelar pada tahun 2024, kekosongan pengisi jabatan itu pun menjadi keniscayaan. Tidak hanya jabatan presiden dan wakil presiden yang kosong jika pemilu ditunda, lembaga negara yang anggota dan pimpinannnya diisi lewat pemilu seperti DPR, MPR, DPD, dan DPRD, juga akan mengalami kekosongan. Negara pun bisa dalam keadaan darurat atau terjadi krisis konstitusional.

Krisis konstitusional di atas sudah barang tentu akan berakibat pada instabilitas politik. Bisa dibayangkan situasi negara di mana kekosongan kekuasaan terjadi di level eksekutif dan legislatif dari tingkat pusat hingga daerah. Komnas HAM bahkan sampai memprediksi, instabilitas politik itu bisa berujung kerusuhan massal jika pemilu benar-benar ditunda.

Jumat lalu KPU resmi mengajukan banding atas putusan PN Jakpus. KPU mengajukan memori banding lebih cepat dari tenggat pada 16 Maret atau 14 hari sejak putusan dibacakan.

Ada tiga dalil pokok dalam memori banding yang diajukan KPU. Pertama, dalil terkait kompetensi absolut atau kewenangan PN Jakpus mengadili perkara sengketa proses pemilu. Kedua, dalil terkait desain penegakan hukum pemilu. Terakhir, dalil yang menyatakan bahwa putusan penundaan pemilu adalah keliru.

Saat ini, kita tinggal menunggu dua kemungkinan. Pertama, apakah PT DKI Jakarta akan mengeluarkan izin eksekusi putusan PN Jakpus atau tidak. Jika izin eksekusi putusan tunda pemilu tak dikeluarkan PT DKI Jakarta, proses banding pun berlanjut hingga (mungkin) putusan juga kemudian dilanjutkan ke tingkat kasasi sampai inkrah. Kita tunggu saja.

Wallaahu a’lam bisshawaab