Eks Penasihat KPK: Jokowi Presiden Terburuk Sepanjang Sejarah Indonesia

Bekasi, Rasilnews – Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2005-2013, Abdullah Hehamahua melabeli Presiden Joko Widodo sebagai presiden terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

Hal itu disampaikan Abdullah Hehamahua saat dimintai tanggapan tentang keputusan Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

“Sebenarnya apa yang dilakukan Mahfud MD itu suatu kritikan langsung (untuk Jokowi dan Paslon nomor 2). Tapi Jokowi kan orang yang tidak punya rasa malu. Kalau istilah bahasa Melayu itu ‘Muka Tembok.’ Betul-betul presiden paling jelek seumur Indonesia. Presiden paling jelek itulah Jokowi,” ujar Abdullah Hehamahua dalam siaran Topik Berita Radio Silaturahim (Rasil) 729 AM, Jumat (2/2).

Dia mengatakan, mundurnya Mahfud MD dari jabatannya sebenarnya sudah terlambat. Namun, menurut Abdullah, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Artinya bahwa ini sudah terlambat, sudah 1 bulan. Di dalam UU Pemilu, ASN, PNS kalau mau jadi caleg itu harus berhenti dari ASN atau PNS, baru  kemudian bisa ikut jadi caleg. Itu sebelum pendaftaran. Oleh karena itu, maka seharusnya untuk bisa jadi cawapres, sudah harus mengundurkan diri ketika sudah diumumkan menjadi cawapres. Tapi seperti saya katakan tadi, Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” jelasnya.

Menurut Abdullah, aturan untuk mundur dari jabatan politik sebelum maju sebagai caleg/capres/cawapres harus ditegakkan karena banyak elit politik termasuk presiden tidak paham soal konflik kepentingan (conflict of interest).

“Saya selalu menyampaikan kepada anggota DPRD atau pejabat-pejabat pemerintah bahwa conflict of interest itu setipis tisu, jadi tipis sekali. Hanya bisa dirasakan oleh mereka yang punya independensi, punya nurani, punya integritas tingkat tinggi dan ini menyangkut etika,” ujar Abdullah.

Kemudian, ia juga menyebut bahwa Jokowi telah berbohong karena mengatakan presiden bisa kampanye, bisa memihak hingga menunjukkan pasal 299 UU Pemilu tahun 2017 untuk mendalili tindakannya.

“Jokowi bukan hanya tidak mengerti tapi Jokowi itu berbohong. Kenapa disebut berbohong, karena ketentuan dalam UU Pemilu itu ada tiga butir yaitu kalau mau jadi capres lagi maka harus cuti dan tidak boleh pakai fasilitas negara. Tapi yang boleh kampanye itu ialah capres yang incumbent (petahana),” jelas Abdullah.

UU Pemilu itu, lanjutnya, merujuk pada kasus Presiden Kelima, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Waktu itu, Megawati jadi presiden (satu periode) maju jadi capres (untuk periode kedua) maka dia boleh (kampanye) dengan syarat tidak menggunakan fasilitas negara kemudian ambil cuti,” papar Abdullah.

Hal serupa juga dilakukan SBY pada saat kembali maju di periode kedua. Bahkan, Jokowi pun sebelumnya melakukan kampanye untuk dirinya yang maju di Pilpres 2019. Saat ini, masa jabatan Jokowi sudah dua periode sehingga posisi Jokowi bukan lagi sebagai petahana.

“Sekarang beliau (Jokowi) bukan incumbent (petahana) sehingga tidak boleh melakukan seperti itu (kampanye),” ujar Abdullah.

Mundurnya Mahfud MD dari jabatan Menko Polhukam itu, lanjut Abdullah, diharapkan menjadi contoh bagi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Walikota Solo Gibran Rakabuming (capres-cawapres nomor urut 2) serta para caleg. Ini perlu dilakukan untuk menghindari timbulnya konflik kepentingan.

Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, diketahui telah mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan Menkopolhukam. Surat pengunduran itu telah diserahkan Mahfud kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Kamis (1/2). Dengan demikian ia resmi berhenti dari posisi jabatan Menko Polhukam.

Sebagai informasi, sejumlah guru besar, dosen dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berkumpul di Balairung UGM. Mereka mengingatkan Jokowi yang dinilai sudah keluar jalur melalui Petisi Bulaksumur dan menyanyikan Himne Gadjah Mada.

“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga menjadi bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” kata Profesor Koentjoro di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1).

Mereka menyinggung pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum, serta pernyataan kontradiktif Jokowi terkait keterlibatan pejabat publik dalam kampanye antara netralitas dan keberpihakan.

Menurut mereka, semua itu merupakan bentuk penyimpangan dan ketidakpedulian terhadap prinsip demokrasi.

Hal serupa turut disuarakan oleh sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam pernyataan sikap yang bertajuk Indonesia Darurat Kenegarawanan, guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni UII.

“Ada gejala sikap kenegarawanan Presiden Jokowi yang pudar,” kata Rektor UI Profesor Fathul Wahid di halaman Auditorium Kahar Muzakir, Kampus Terpadu UII, Sleman, Yogyakarta, Kamis (1/2).

Adapun gejala yang dimaksud, menurut mereka, terdiri dari empat indikator. Pertama, pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang didasarkan oleh putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sarat intervensi politik.

Kedua, pernyataan ketidaknetralan Jokowi yang membolehkan presiden untuk berpihak dan berkampanye.

Ketiga, distribusi bantuan sosial (bansos) langsung oleh presiden ditengarai kental akan nuansa politik praktis.

Keempat, mobilisasi aparatur negara untuk memberikan dukungan terhadap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tertentu sebagai tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi.***