Keliru Menilai Aspirasi Rakyat

KETIKA berbicara kebijakan pemerintaah yang berkaitan dengan rakyat, ada satu praktek kegiatan politik yang dinamakan lobi politik. Pengertian sederhananya adalah segala upaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok kepentingan swasta untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Dalam arti aslinya merujuk pada upaya mempengaruhi suara pembentuk undang-undang, umumnya dilakukan melalui lobi di luar ruang legislatif. Lobi dalam berbagai bentuk tidak bisa dihindari dalam sistem politik mana pun.

Di Amerika Serikat sudah cukup lama dikenal peranan dari para lobbyists yang bekerja secara profesional untuk mendekati para pengambil keputusan di Kongres dan di jajaran Pemerintahan Amerika Serikat untuk kepentingan kliennya. Bahkan ada kelompok lobi Israel yang juga dikenal sebagai lobi Zionis, individu dan kelompok yang berusaha mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat agar dapat melayani kepentingan Israel dengan lebih baik. Kelompok lobi pro-Israel terbesar adalah Christians United for Israel dengan lebih dari tujuh juta anggota. Juga American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) organisasi terkemuka dalam lobi, yang berbicara atas nama koalisi kelompok Yahudi Amerika.

Sementara di Indonesia, menurut pakar politik Arbi Sanit menengarai peran lobbyists ini dimainkan oleh partai-partai politik, yang cenderung memonopoli kekuasaan Negara. Kelompok lain yang berpotensi ‘membajak Negara’ adalah apa yang disebut sebagal konglomerat hitam yang berkolusi dengan para koruptor di dalam jajaran pemerintahan, bahkan dalam jajaran cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang menghasilkan kebijakan pemerintahan yang hanya menguntungkan kelompok mereka dan merugikan rakyat banyak. Melupakan tujuan utama menjalankan amanah Negara.

Meninjau kembali tujuan Negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah “Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam pasal 36 UUD 1945 dejelaskan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam pasal 33 ayat (2) dijelaskan bahwa “Bumi, air dan apa-apa yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Apabila kita cermati tujuan Negara dan hak-hak warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 tersebut diatas, semua butir itu adalah nilai-nilai publik yang harus menjadi tujuan dari semua kebijakan publik di negeri ini, nilai-nilai publik sebenarnya adalah seberapa besar kemanfaatan suatu kebijakan terhadap rakyat. Walaupun dalam tahun 1945 para pendiri Negara memberikan perhatian yang amat besar pada masalah kelembagaan negara, khususnya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, para Menteri, namun beliau-beliau sangat sadar bahwa pada taraf terakhir yang akan membuat keputusan adalah manusia yang menguasai lembaga-lembaga tersebut.

Lalu bagaimana jika banyak kebijakan pemerintahan yang bertolak belakang dengan kepentingan dan aspirasi rakyat? Hal tersebut bisa disebabkan salah satunya dengan adanya semangat penyelenggara negara yang bersifat “kekeluargaan” dan tebang pilih. Istilah sekarang bisa kita pahami sebagai pemerintahan yang dikelola jauh dari prinsip-prinsip good and clean government apalagi bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam setiap keputusannya sudah tidak dapat lagi mengayomi kepentingan rakyat, membuat rakyat menanggung penderitaan dan menyebabkan rakyat berontak hingga menginginkan perubahan.

Suatu implikasi logis dari keadaan yang sudah tidak sesuai dengan prinsip negara tersebut adalah bahwa seluruh bangunan Undang-Undang Dasar 1945 itu akan runtuh dengan sendirinya apabila semangat para pendiri negara tidak lagi berintegritas, tidak berkeadilan, tidak menurut prinsip good and clean government, bahkan sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di segala bidang dan hampir di segala tingkat, seperti yang kita saksikan dalam tahun-tahun pasca Reformasi hingga kini.

Sehubungan dengan itu, ada satu teori yang menjelaskan penyebab pejabat-pejabat Pemerintah bisa keliru dalam menilai aspirasi dan kepentingan Rakyatnya, yang secara langsung atau secara tidak langsung dapat menyebabkan rakyatnya memberontak. Dalam teori state capture, menengarai bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat swasta bisa melakukan manuver-manuver politik sedemikian rupa, sehingga suatu negara yang secara formal didasarkan atas paham kedaulatan rakyat, dalam kenyataannya hanya dikendalikan oleh sekelompok orang saja, demi kepentingan mereka sendiri, dan mengabaikan kepentingan bersama. Jika kondisinya demikian, perubahan sangat diperlukan.

Wallahu a’lam bis showwab