Kemunafikan Sosial

Hikmah Republika, Oleh Hasan Basri Tanjung

SEJATINYA, manusia diciptakan dengan kesempurnaan jasmaniyah, aqliyah (pikiran), dan ruhaniyah (batin). Ketiga dimensi ini telah meninggikan derajat manusia melebihi makhluk lain, termasuk malaikat yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Pada sisi lain, manusia juga dilengkapi perangkat lunak hawa nafsu sebagai daya dorong untuk bergerak, berbuat, dan merekayasa kehidupan. Namun, hawa nafsu yang tidak terkendali akan menjerumuskan ke lembah durjana.

Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan bahwa di permulaan surah al-Baqarah, manusia dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, muttaqiin, yakni orang yang percaya hati, mulut, dan perbuatannya. Kepercayaan hatinya dibuktikan oleh perbuatan. Kedua, kafir, yakni orang yang tidak mau percaya, hatinya tidak percaya, mulutnya menentang, dan perbuatannya melawan. Ketiga, munafik, yakni orang yang pecah di antara hati dengan mulutnya. Mulutnya mengakui percaya, tetapi perbuatan dan hatinya tidak sesuai dengan ucapan.

Sedemikian krusial, uraian tentang kemunafikan pun lebih banyak daripada orang takwa dan kafir. Sifat dan perilakunya disajikan dalam 13 ayat, sementara orang bertakwa hanya lima ayat, dan kafir dalam dua ayat. Dalam beberapa ayat, orang munafik dan kafir disebutkan bersamaan dan kelak akan disiksa dalam neraka (QS an-Nisa’: ayat 140-143).

Pada zaman Nabi Muhammad ﷺ dan Khulafaur Rasyidin, musuh yang paling berat adalah orang-orang munafik. Sebab, mereka sulit dideteksi dan berada di dalam barisan kaum muslimin. Mereka bagaikan “musuh dalam selimut”, “menggunting dalam lipatan”, “menyalip di tikungan”, dan “menusuk dari belakang”. Terkadang mereka seperti kawan, tapi di belakang bersekongkol dengan lawan untuk menghancurkan. Jika berkumpul dengan umat Islam, mereka mengaku setia dan beriman. Namun, ketika berkumpul dengan musuh mengaku hanya mengolok-olok dan mempermainkan saja.

Jika dilihat dari perilaku dan dampaknya, setidaknya kemunafikan dapat dibagi menjadi tiga macam. Pertama, kemunafikan personal. Sikap dan perilaku seseorang yang buruk dalam berinteraksi dengan masyarakat. Secara zahir, sikap dan ucapannya santun dan menarik, tapi perbuatan tidak sejalan. Layaknya penipu ulung yang tampil gagah dengan asesoris menawan. Begitu juga calon legislatif dan pemimpin yang mengumbar janji, tapi mudah lupa dan melalaikan amanah.

Tanda orang munafik ada tiga macam yakni apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila dipercaya ia khianat (HR Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan empat tanda munafik sejati, yakni jika bicara dusta, jika berjanji ingkar, jika diberi amanah khianat, dan jika berseteru ia curang (HR Bukhari). Kemunafikan personal bertujuan mengambil keuntungan pribadi dengan cara yang buruk (QS al-Baqarah: 204).

Kedua, kemunafikan sosial. Sikap dan perilaku kolektif yang koruptif dan menyalahi etika sosial orang yang berkuasa atau berpengaruh demi mewujudkan ambisi kelompoknya. Orang bijak berkata, gambaran kemunafikan sosial yang paling besar adalah memberikan pakaian dan makanan sisa kepada fakir dan misikin. Namun pada saat bersamaan memberi hadiah mewah kepada orang kaya yang tidak mereka butuhkan. Inilah gambaran pejabat negara atau politisi tak beradab yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan kekayaan. Untuk menjaga citra yang merakyat dan peduli, mereka bersedekah sekadarnya (kamuflase), lalu diliput media massa (QS al-Baqarah: 267).

Ketiga, kemunafikan spiritual. Sikap dan perilakunya positif dan bermanfaat bagi orang banyak, sehingga ia pun dihormati dan dikenang sepanjang zaman. Mereka suka menolong dan memberdayakan umat, tapi terbersit di lubuk hatinya untuk menerima pujian manusia (riya’ dan sum’ah). Ia hendak menipu Allah, akan tetapi sebenarnya dia menipu dirinya sendiri (QS an-Nisa’: 142). Nabi Muhammad ﷺ pernah menceritakan tiga orang yang berjasa di dunia, tapi mereka menjadi orang pertama masuk neraka. Pertama, orang mati syahid yang ingin disanjung sebagai pemberani. Kedua, orang alim yang ingin dipuji sebagai cerdik pandai. Ketiga, orang kaya yang hendak disebut dermawan (HR Muslim).

Walhasil, pada hakikatnya kemunafikan itu sama, yakni menipu diri sendiri. Jika kemunafikan personal dilakukan seseorang kepada orang lain, maka kemunafikan sosial dilakukan secara kolektif, sistemis, dan sistematis sehingga dampaknya jauh lebih besar dan luas. Sedangkan, kemunafikan spiritual dilakukan seseorang kepada Allah SWT tanpa merugikan orang lain. Tentu, mereka akan mendapat hukuman yang sepadan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Wallahu ‘Alam Bishshawwab