Mencari Istana Khalifah Umar bin Khattab

Artikel Kisah Republika.co.id

DAULAH Islam menjadi kekhilafahan yang diperhitungkan pada era Khulafaur Rasyidin. Bukan hanya menggentarkan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Kekhalifahan bahkan sukses menaklukkan Imperium Sasaniyah yang berpusat di Persia. Dengan posisi geopolitik demikian, daulah Islam menjadi negeri yang sangat berwibawa. Tidak mengherankan bila Jiran hendak mencoba menjalin hubungan bilateral.

Betapapun besarnya kegemilangan Islam, toh pemimpinnya tidak bermegah-megahan seperti halnya raja-raja Persia dan Romawi dahulu. Sebab, teladannya adalah Nabi Muhammad ﷺ. Beliau selalu mengajarkan kesederhanaan dan ketakwaan.

Pada suatu ketika, utusan Bizantium bertandang ke Madinah guna menemui Khalifah Umar bin Khattab radiallhuanhu. Sesampainya di Kota Nabi, duta ini pun mencari-cari alamat istana sang amirul mukminin. Dalam benaknya, seorang penguasa sebuah kerajaan besar pastilah memiliki kediaman yang megah.

Berbagai jalan dilaluinya. Namun, upayanya sia-sia. Akhirnya, utusan Bizantium ini bertanya kepada orang-orang di pasar. “Di manakah istana Raja Umar?” tanyanya. Mendengar pertanyaan itu, mereka terheran-heran. “Istana?” kata seorang dari mereka, “Amirul Mukminin tidak tinggal di istana.”
“Kalau begitu, di mana bentengnya?”
“Tidak ada. Amirul Mukminin juga tidak memiliki benteng,” sambung si penjawab.
“Jadi, di mana raja kalian tinggal?” cecar sang duta dengan nada tidak sabar.
“Engkau bisa dengan mudah menemukannya karena dekat dari sini,” jawab seorang warga.

Kemudian, duta Bizantium itu diberi petunjuk arah menuju rumah Khalifah Umar bin Khattab. Mendengar penuturannya, orang Romawi ini terkejut karena alamat itu berada di kawasan permukiman warga biasa. Ya, rumah Khalifah Umar tidak ubahnya rumah-rumah rakyat. Maka duta itu meneruskan langkahnya, sesuai petunjuk tadi.

Setibanya di tujuan, orang Romawi ini kembali terkejut. Ia mendapati seseorang sedang tidur-tiduran di bawah pohon kurma, persis di depan rumah. Lelaki yang tampak bersantai itu mengenakan pakaian yang jelek, terdapat beberapa tambalan.

“Siapa orang kumuh ini? Apakah penunjuk jalan tadi memberi keterangan yang salah kepadaku?” batin si utusan Romawi.
“Salam, apakah benar ini rumah Raja Umar?”
“Umar bin Khattab maksudmu? Saya sendiri Umar,” jawab lelaki berbadan tegap itu.
“Tidak mungkin seorang raja berpakaian jelek. Mustahil seorang yang kekuasaannya terbentang dari Mesir sampai Irak memilih berteduh di bawah pohon,” timpalnya.
“Aku adalah Umar, amirul mukminin. Aku lakukan ini supaya rakyat dapat dengan mudah menemui dan mengadu padaku. Dan kucontoh kesederhanaan dari kekasihku, Nabi Muhammad ﷺ.”

Menurut Ustaz Ahmad Syahirul Alim dalam artikelnya, “Istana Sang Khalifah” (2011), sifat-sifat sayyidina Umar yang egaliter itu mengikuti suri teladan Rasulullah ﷺ. Suatu ketika, sayyidina Umar pernah menemui Rasulullah ketika beliau bangun dari pelepah kurma tempatnya berbaring. Sayyidina Umar melihat guratan pelepah kurma membekas di punggung Rasulullah ﷺ. Umar pun menangis. Dengan lembut Rasulullah ﷺ bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab: “Wahai Rasulullah, sungguh Raja Kisra dan Kaisar Romawi dalam keadaan (kafir). Mereka (bergelimang harta), sedang Engkau ialah Utusan Allah (tetapi tidak memiliki apa-apa).”

Dengan bijak, Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar, tidakkah engkau ridha jika mereka mendapat dunia dan bagi kita akhirat?” Pelajaran ini tidak pernah dilupakan oleh sayyidina Umar seumur hidupnya. Al-Faruq bukannya tidak mampu untuk membangun istana atau hidup mewah bak seorang raja. Tetapi, sayyidina Umar lebih memilih kesederhanaan sebagai perhiasan dirinya.

Ia adalah khalifah yang memperoleh gaji hanya sebatas kebutuhan pokoknya, memakan roti yang hampir mengeras, dan memiliki dua belas tambalan pada pakaian lusuhnya. Ia adalah pemimpin yang bergantian mengendarai keledai bersama budaknya dalam penaklukkan Baitul Maqdis (Kota Al-Quds).

Sungguh, khalifah Umar telah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin tak harus bergelimang fasilitas. Tidak pernah ia menuntut berbagai fasilitas untuk tugas kepemimpinannya. Karena dirinya sangat menyadari, segala hal yang ia nikmati tidak lain hanyalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah.

Wallaahu a’lam bisshawaab