Menjawab Narasi Negatif Netizen tentang Pengungsi Rohingya

Tajuk Rasil
Kamis, 1 Jumadil Akhir 1445 H/ 14 Desember 2023
Artikel Hidayatullah.com, Oleh: Ali Mustofa Akbar

“Sudah jatuh tertimpa tangga,” begitu kira-kira menggambarkan nestapa saudara Muslim Rohingya saat ini. Sudah terusir dan teraniaya dari negerinya, sekarang dibuly dengan narasi-narasi kejam oleh netizen Indonesia. Etnis Rohingya, sering digambarkan sebagai orang-orang yang paling sering mengalami persekusi di dunia. Mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara, hidup miskin, tak punya kewarganegaraan, serta dipaksa meninggalkan negerinya.

Padahal sebelumnya mereka merupakan komunitas Muslim yang sudah tinggal berabad-abad lamanya di sana, mereka absah dan diakui sebagai warga negara bahkan juga ketika Inggris berkuasa di Burma, Rohingya menjadi bagian tak terpisahkan dari negara itu. Hingga ikut andil dalam kemerdekaan Burma tahun 1948. Sekarang bernama Myanmar. Keadaan berbanding terbalik sejak kudeta militer oleh Jenderal Ne Win dari Partai Sosialis Burma pada 1962. Komunitas Muslim di Myanmar terutama Rohingya mendapat perlakuan diskriminatif, mereka tidak dianggap sebagai warga asli Myanmar. Puncaknya di tahun 2017 ribuan Muslim myanmar terbunuh oleh tentara Myanmar. Dunia mengutuk peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai genosida.

Dalam kurun waktu akhir November 2023 ini, ada 1.084 pengungsi Rohingya yang datang ke Sabang, Aceh. Mereka datang dengan menumpangi kapal milik warga Bangladesh. Menurut UNHCR, bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan. Beberapa negara menjadi labuhan mereka adalah Arab Saudi, Malaysia, Bangladesh, Indonesia, dan lainnya. Derita saudara Muslim Rohingya menambah pelik kisah umat Islam di penjuru dunia yang saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Menjadi manusia perahu serta “mengemis” ke negara lain tentu bukan keinginan terbaik meraka, siapapun, ingin hidup tenteram di negerinya sendiri.

Kedatangan Muslim Rohingya di negeri ini kini makin menghangat kembali. Permasalahan bertambah runyam karena muncul narasi-narasi negatif terhadap Muslim Rohingya distigmakan sebagai pelaku aktivitas kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, dan seterusnya. Menanggapi hal ini Ketua MPU Aceh, Abu Faisal Ali, menyampaikan: “Jangan sampai, karena banyaknya pemberitaan negatif yang menggambarkan kekurangan-kekurangan mereka, seolah menepis dan menihilkan kewajiban kita sesama Muslim ataupun sekadar selaku manusia,” katanya. Sementara cendikiawan Muslim Aceh, Adli Abdullah mengatkan, “Saya kira kita tetap membangun simpati terhadap masyarakat Rohingya yang terzalimi dan memang kalau ada yang terlibat human traficking harus ditindak. Jangan mencari keuntungan di atas penderitaan orang Rohingya. Semoga etnis Rohingya segera merdeka dunia akhirat,” tegas dosen Universitas Syah Kuala ini.

Apa yang terjadi kepada Muslim Rohingya sejatinya juga merupakan persoalan umat Islam seluruh dunia terutama saudara-saudara terdekatnya termasuk di Indonesia. Banyak dalil yang sudah dijelaskan oleh pada ulama akan tuntutan kepedulian ini. Namun akibat framing miring tentang Rohingya, membuat sebagian kaum Muslim di negeri ini mengisyaratkan terpancing untuk tidak empati kepada saudaranya. Beberapa komentar miring seperti bahwa Muslim Rohingya identik dengan perilaku kriminal serta digambarkan tidak tau adab karena membuang bantuan makanan ke laut, dan seterusnya. Tidak disangkal bahwa ditengah ketidakpastian hidup, ada beberapa oknum dari Muslim Rohingya yang berlaku kejahatan, namun tentu tidak baik jika di generalisir semua melakukannya.

Solusinya adalah adili pelaku kejahatan dengan tindakan preventif maupun efek jera dengan penegakkan hukum serta perlu dilakukan sosialisasi yang berkesinambungan di tempat penampungan. Tampak pula sebagian netizen trauma dengan apa yang terjadi di Palestina, dilihat dari sejarah ketika pengungsi Yahudi yang diberi tumpangan karena diusir negara-negara Eropa justru menikam dari belakang umat Muslim Palestina. Hal ini tidak bisa disamakan karena Muslim Rohingya bukanlah Zionis yang layak dimusuhi dan dicurigai, tapi saudaranya Muslim yang diibaratkan Rasul ﷺ seperti satu tubuh. Kalau kita tidak bisa seperti Kaum Anshar yang menerima kaum muhajirin maka minimal tidak mencibir.

Menyikapi persoalan Rohingya perlu ada kerjasama berbagai stakeholder guna merumuskan solusinya. Pihak-pihak berkewenangan diberbagai negeri Muslim memiliki kewajiban untuk menolong saudaranya. Apresiasi layak diberikan kepada Wapres Ma’ruf Amin yang membuka opsi Pulau Galang yang akan menjadi tempat labuhan pengungsi Rohingya meski mendapat bantahan dari Menteri Mahfud MD. Mahfud MD juga menyampaikan bahwa pengungsi Rohingya akan dipulangkan ke Myanmar. Opsi tersebut harus diperhatikan keselamatan dan keadilannya. ASEAN harus berperan aktif dalam pengawasan, diplomasi, maupun upaya lainnya untuk menjamin keamanan Muslim Rohingya.

Situasi yang dialami oleh saudara Muslim di Rohingya, Palestina, Uighur, dan di belahan bumi lainnya yang sedang terdzolimi semakin membuka mata hati kita akan kerusakan sistem dunia dunia ini melahirkan sikap apatisme dan pengabaian pada orang yang seharunya bisa kita bela dan kita lindungi, dan penyakit ini, kini menimpa negeri-negeri Muslim. Bagaimana jika kita atau keluarga kita yang mengalami nasib serupa lalu mereka diteriaki, dibully dengan narasi-narasi jahat agar mengusir kembali ke laut? Di mana kemanusiaan kita? Kita berharap pemimpin-pemimpin kita menjadi lebih baik. Agar mereka bisa menjadi perisai yang melindungi umatnya.

Wallāhu ‘Alam bis-shawāb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *