“Tajuk Rasil”
Senja Kala Propaganda Islamophobia
Kolom Republika, Oleh : Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR
Propaganda Islamophobia perlahan terbenam. Semburan stereotipe dan stigma terhadap umat Islam memasuki fase senja kala. Teregelincir di balik horizon kesadaran bahwa kampanye Islamophobia merupakan proyek gagal. Kontraproduktif dengan misi membangun peradaban dunia yang humanis dan bermartabat. Perserikatan Bangsa Bangsa merespons serius situasi sosial yang menegangkan. Kebencian dan keterbelahan masyarakat terjadi di berbagai belahan dunia. Letupan-letupan kebencian rasial seperti api dalam sekam. Membakar harmoni kemanusiaan. Melalui Sidang Umum, PBB menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia.
Efektivitas seruan ini memang masih tanda tanya. Pasalnya, Islamophobia telah menjadi proyek politik. Kampanye hitam menebar ketakutan terhadap umat Islam dinikmati di panggung kekuasaan. Preferensi politik salah satu pemicu maraknya Islamophobia yang satu sama lain bersenyawa dengan kebencian rasial. Di Amerika Serikat, ketegangan bermotif latar belakang suku, agama dan ras mendapatkan momentumnya di era Donald Trump. Secara promotif, Trump lantang menyerukan aksen aksen politik diskirminatif. Bahkan dilegitimasi melalui kebijakan publik.
Promosi Islamophobia dari negara yang katanya kiblat demokrasi dunia, berbuntut panjang. Gaung rasial dan Islamophobia berdegung ke seantero dunia. Jadi tunggangan politik populisme. Selain latar belakang politik, kampanye global mendiskreditkan Islam juga tumbuh subur dengan memboncengi isu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Terutama di Eropa. Kebebasan berpendapat dan berekspresi ditumpahkan melalui aksi-aksi provokatif. Terlihat sangat tendensius. Bahkan berupaya memicu kegaduhan. Teranyar, di bulan April ini, pendiri gerakan Garis Keras di Swedia, Rasmus Paludan menyiarkan secara langsung video streaming membakar Alquran di berbagai kota di Swedia. Publik, khususnya umat Islam bereaksi.
John L. Esposito dan Karen Armstrong, ilmuwan yang banyak menjadi advokat aspirasi Islam di Barat, menyebutkan bahwa Islamophobia salah satunya timbul sebagai respons terhadap fenomena gerakan revivalisme Islam. Merujuk pada kelompok yang membawa bendera purifikasi. Respons itu lahir dari konstruksi pemberitaan dan opini secara terus menerus. Media-media Barat membangun stereotip, bahwa muslim yang taat berarti radikal. Mereka yang menampakkan simbol-simbol keislaman dianggap gandrung melakukan kekerasan dan anti perdamaian. Stereotip seperti ini ditelan mentah-mentah oleh para petualang politik yang larut dalam proyek memerangi apa yang disebut oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy sebagai gerakan revivalisme Islam.
Melihat perkembangan kontemporer, tesis tentang pemicu Islamophobia tampaknya perlu mendapatkan pengayaan. Pemicu Islamophobia perlu direvisi dan dilengkapi. Fenomena memupuk Islamophobia dan dijajakan sebagai komoditas politik satu fragmen baru dalam etalase akademis yang menarik perlu digali lebih dalam. Lucu dan ambivalen. Kelompok pengasong Islamophobia kerap membawa-bawa jargon perang terhadap politik identitas. Namun pada saat yang sama mereka menikmati dan berselancar memanfatkan isu-isu Islamophobia.
Seni berbohong paltering ini tampaknya digemari sebagai sajian komplementer fabrikasi distorsi informasi ala buzzer politik. Paltering yang dipopulerkan oleh John F. Kennedy School of Government merupakan satu bentuk penipuan berbasis cherry picking. Memilah informasi atau sebuah fakta untuk menyesatkan dan digunakan secara luas dalam negosiasi maupun propaganda. Dalam isu politik identitas, sekelompok petualang politik getol melawan aspirasi yang mereka labeli sebagai populisme Islam. Politik yang berwarna dianggap sebagai ancaman keberagaman cuma lantaran corak Islam turut mengambil peran.
Jika di internal kampanye Islamophobia diembuskan dengan narasi terorisme, radikalisme, fundamentalisme dan sederet jargon lainnya, maka di ekstrenal, kemasannya atas nama toleransi. Penyebaran Islamophobia menumpang pada isu kebinekaan dan keberagaman. Masyarakat Indonesia yang heterogen dan telah lama hidup rukun, tiba-tiba dibuat tegang. Dibelah oleh momok utopia kelompok intoleran. Sebuah metafora politik yang jahat, mereka ciptakan sendiri melalui propaganda dan opini-opini menyesatkan. Karena itu, Islamophobia tumbuh subur di Indonesia. Disambut suka cita. Kebencian pada simbol-simbol Islam bahkan dipelihara. Aneka konotasi mendiskreditkan digaungkan. Toa masjid dipermaslahkan. Budaya takbiran di malam lebaran yang sudah ada sejak zaman dahulu dihilangkan atas nama ketertiban.
Istilah kadal gurun (kadrun) dipopulerkan. Labeling itu merujuk pada masyarakat muslim kritis yang menampakkan identitas keislaman. Baik melalui gaya berbusana (fashion) maupun kerangka berpikir (fikrah) namun memiliki pilihan politik berseberangan. Penyematan konotasi-konotasi negatif dilakukan seiring populisme kampanye Islamophobia yang seolah mendapatkan sambutan dari entitas masyarakat tertentu.
Sialnya, negara turut mengambil peran mengusung semangat Islamophobia. Pemerintah mengamini argumen-argumen yang menjual jargon anti radikalisme dan sederet dengung propaganda lainnya dengan memberi ruang kepada kelompok-kelompok tersebut. Pengistimewaan perlakuan secara hukum diobral. Beberapa buzzer yang getol mengasong Islamophobia dan bahkan disinyalir melanggar hukum, tidak diproses oleh aparat. Hal itu mengakumulasi perasaan tidak adil di hati maryarakat. Mereka menciptakan pengadilan dengan caranya sendiri.
Di saat bersamaan, kelompok-kelompok kritis yang menampakkan simbol-simbol keislaman begitu cepat diproses secara hukum. Dua organisasi kemasyarakatan, HTI dan FPI bahkan dibubarkan tanpa melalui proses pengadilan. Secara teknis hanya dengan modal secarik argumen bahwa izin kedua ormas tersebut sudah kedaluarsa. Di luar itu, keduanya dianggap mengusung ideologi Islam yang bertentangan dan mengancam eksistensi negara. Tuduhan sumir dan prematur yang sayangnya tidak diuji di pengadilan.
Pembubaran ormas secara serampangan akhirnya mempermalukan bangsa Indonesia. Dalam laporan berjudul “2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia” yang diterbitkan kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, disebutkan jika sejumlah lembaga HAM terkemuka menilai pemerintah tidak konsisten dalam penegakan HAM. Pembubaran dan pelarangan FPI merupakan potret ketidakadilan atas hak berserikat dan berekspresi. Kita bisa menerka. Spirit pembubaran FPI tersebut adalah Islamophobia.
Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli , secara konsekuen, maka kerusakan yang ditimbulkan oleh propaganda Islamophobia bisa mulai dipulihkan. Ketegangan, rasa curiga dan disharmoni bisa direstorasi. Kita rindu wajah ramah Indonesia. Wajah itu sudah cukup lama tertutup tabir propaganda buzzer. Benalu demokrasi yang kita harapkan terbenam bersama senja kala Islamophobia.
Wallahu ‘alam bisshawab