“Tajuk Rasil”
Selasa, 9 Syawal 1443 H/ 10 Mei 2022
Timur Tengah Baru Tanpa Amerika
Resonansi Republika, Oleh: Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Kemesraan hubungan Amerika Serikat dengan sejumlah negara di Timur Tengah, terutama negara Teluk, tampaknya segera berlalu. Bahkan, seperti ditulis Aljazirah, kemesraan ‘Paman Sam’ itu kini berlalu. Negara-negara di kawasan, sekarang beradaptasi dengan perubahan global, termasuk menghadapi geopolitik Timur Tengah baru tanpa kepemimpinan Amerika Serikat. Ini dapat dilihat jelas dengan adanya rekonsiliasi antara para rival regional.
Misalnya antara Turki dan negara-negara Teluk dan Mesir. Juga blok baru terbentuk saat sejumlah negara Arab menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Mereka juga mulai ‘berani’ menunjukkan penentangan terbuka terhadap kebijakan Amerika Serikat. Misalnya terkait upaya menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan Iran. Perjanjian ini ditandatangani Barack Obama kemudian dibatalkan sepihak oleh Donald Trump.
Anehnya, meski Saudi menentang perjanjian nuklir, tapi Saudi dalam proses pembicaraan normalisasi hubungan dengan Iran. Sebelum ini, selama tujuh dekade terakhir, Amerika Serikat berhasil membangun jaringan aliansi di Timur Tengah. Kehadiran militer dan politiknya sangat berpengaruh di kawasan penting bagi dunia ini. Hubungan dekat dengan para pemimpin kawasan, utamanya Saudi, sudah dibangun sejak mendiang Presiden Franklin Roosevelt pada 1945. Puncaknya pada 1990, saat Irak menginvasi Kuwait. Presiden George Bush senior membentuk koalisi internasional terbesar sejak Perang Dunia II, memaksa militer Irak mundur dari Kuwait. Mayoritas negara Arab ikut koalisi.
Periode itu puncak kepercayaan pemimpin Arab pada Amerika Serikat, membantu Gedung Putih mengimplementasikan visinya di Timur Tengah. Termasuk memastikan pasokan minyak, memerangi terorisme, menggagalkan permusuhan Arab terhadap Israel, lalu mendapatkan dukungan dari sekutu utamanya di kawasan untuk invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Kini, hubungan dekat itu mencapai titik terendah.
Berbagai pertanyaan muncul terkait kemampuan Amerika Serikat sebagai aktor internasional utama di Timur Tengah. Sejak Joe Biden dilantik pada Januari 2021, keputusan besar pertamanya terhadap kawasan itu mengakhiri dukungan militer Amerika Serikat untuk koalisi pimpinan Saudi di Yaman dan menghapus kelompok Houthi dari daftar teroris. Berikutnya, menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan Iran, yang dibatalkan sepihak Presiden Trump pada 2018. Sebelumnya, hubungan Amerika Serikat dengan sekutunya di Timur Tengah tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Banyak penyebabnya, antara lain ditandatanganinya perjanjian nuklir dengan Iran oleh Presiden Obama, perang yang dilancarkan Saudi di Yaman yang tanpa minta restu Amerika Serikat, dan pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di konsulat negaranya di Istanbul, Turki pada 2018. Pembunuhan yang diduga ada kaitannya dengan penguasa Saudi ini, dikecam Gedung Putih. Lalu datang invasi militer Rusia ke Ukraina, yang memperlihatkan semakin dalam kerenggangan hubungan itu. Sebagian besar negara di kawasan menolak mengutuk Rusia.
Pada tataran pribadi, Joe Biden —berbeda dengan para presiden Amerika Serikat sebelumnya— bersikap dingin pada pemimpin kawasan, terutama Saudi dan UEA. Lebih dari setahun menjabat ia belum melakukan percakapan telepon dengan Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman (MBS). Sikap dingin Biden ini, seperti dilaporkan Wall Street Journal, dibalas putra mahkota Saudi dan UEA, dengan menolak menerima panggilan telepon dari Gedung Putih yang meminta bantuan untuk meningkatkan produksi minyak guna menekan harga yang tinggi.
Sebelumnya, beberapa negara Arab menentang kebijakan Amerika Serikat, dengan memulihkan hubungan dengan rezim Presiden Suriah Bashar Assad. Sementara itu Rusia dan Cina, semakin menancapkan pengaruhnya di Timur Tengah. Kini Cina importir terbesar minyak dari Timur Tengah, bukan lagi Amerika Serikat. Ini mendorong Riyadh mengalihkan kepentingan komersial dan politiknya ke Beijing. Untuk Rusia, sejak intervensi militernya di Suriah pada 2015, berhasil menigkatkan pengaruhnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini menjadikan kekuatan utama Kawasan Arab, seperti Mesir, Saudi, dan UEA, lebih dekat dengan Rusia. Selain itu, penarikan militer Amerika Serikat yang kacau dari Afghanistan, mengirim pesan jelas Washington tak lagi berkomitmen melindungi sekutunya, termasuk di Timur Tengah.
Para pemimpin di Timur Tengah, seperti dilaporkan media utama Arab seperti Aljazirah, al Sharq al Awsat, dan al Arabiya, kini meyakini ‘penyebab utama yang mendorong Amerika Serikat memperkuat perannya di kawasan tidak lagi mendesak. Yakni Washington tidak lagi tertarik pada minyak kawasan pada saat dunia beralih ke energi bersih. Namun, dampak invasi Rusia ke Ukraina terhadap keamanan energi global menegaskan minyak Timur Tengah saat ini masih sangat penting.
Hal yang pasti, kini hubungan Amerika Serikat dengan sekutunya di Timur Tengah mencapai titik sensitif. Akan sulit bagi Amerika Serikat memulihkan pengaruhnya terhadap dinamika politik di Timur Tengah. Namun, ini sekaligus menandakan era baru Timur Tengah tanpa Amerika Serikat. Akankah ini membawa kebaikan atau sebaliknya? Waktu yang akan membuktikan.
Wallahu a’lam bish shawab