Gugat UU Pilkada ke MK, Pemohon Uji Materi Hadirkan Kotak Kosong di Ajang Pemilu

Jakarta, Rasilnews – Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon yang terdiri dari Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III) mengajukan gugatan terhadap beberapa pasal dalam UU Pilkada yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak rakyat. Mereka menilai, aturan yang ada saat ini lebih banyak mengakomodasi kepentingan elit politik dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Para Pemohon menggugat beberapa pasal, yakni Pasal 79 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015, Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016. Dalam gugatannya, mereka menekankan agar kotak kosong – yang selama ini hanya berlaku untuk daerah dengan calon tunggal – juga dihadirkan dalam pemilihan di daerah dengan lebih dari satu pasangan calon kepala daerah.

Mengutip dari chanel Youtube Mahkamah Konstitusi RI, pemohon mengatakan “Kami melihat justru pasangan yang ada itu lebih banyak dihasilkan dari yang namanya kandidasi buying atau politik pork barrel, Yang Mulia,” ujar Heriyanto, Pemohon I, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (25/9/2024). Menurutnya, banyak pasangan calon yang tidak memperhatikan kehendak rakyat, tetapi lebih mementingkan kepentingan elit partai politik.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena calon tunggal kerap muncul di berbagai daerah yang menggelar Pilkada. Situasi ini sering kali terjadi akibat koalisi gemuk yang dibentuk oleh partai-partai politik, sehingga menyisakan satu pasangan calon kepala daerah tanpa lawan. Dalam situasi seperti ini, pemilih hanya bisa memilih antara pasangan calon tersebut atau kotak kosong.

Para Pemohon melihat fenomena ini sebagai bukti bahwa sistem politik di Indonesia belum memberikan pilihan yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Mereka ingin agar konsep kotak kosong diperluas, bukan hanya untuk daerah yang memiliki calon tunggal, tetapi juga untuk daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon kepala daerah.

“Ini sebagai bentuk penolakan dari pemilih terhadap calon-calon yang tidak mewakili aspirasi mereka,” ujar Ramdansyah, Pemohon II. Menurutnya, kotak kosong dapat menjadi solusi bagi masyarakat yang merasa tidak ada pasangan calon yang layak untuk dipilih.

Dalam pokok permohonannya, para Pemohon meminta agar suara kosong atau blank vote dianggap sebagai suara sah yang dapat mempengaruhi hasil Pilkada. Mereka juga meminta agar keberadaan kotak kosong difasilitasi dalam surat suara untuk daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon kepala daerah.

“Suara kosong harus diakui keberadaannya dan dapat memengaruhi keterpilihan pasangan calon kepala daerah,” tambah Raziv Barokah, Pemohon III.

Petitum para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa beberapa pasal yang mereka gugat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai dengan permintaan mereka.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, yang memimpin sidang tersebut mempertanyakan argumen para Pemohon terkait penerapan kotak kosong dalam Pilkada. Menurutnya, jika kotak kosong diterapkan di daerah dengan lebih dari satu pasangan calon, Pilkada akan sulit mencapai pasangan calon yang konkret terpilih.

“Kalau hanya blank vote dan kemudian untuk representasi suara kosong, berarti kan tidak muncul figurnya di sini. Bagaimana kemudian itu bisa terpecahkan? Para Pemohon bisa memberikan elaborasi di dalam posita, termasuk ada dampak tidak di petitumnya, kalau ada petitumnya harus diselaraskan,” ujar Suhartoyo.

Sidang yang digelar pada Rabu (25/9/2024) tersebut diakhiri dengan keputusan bahwa para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan mereka sebelum melanjutkan proses persidangan lebih lanjut.

Permohonan ini menjadi bagian dari upaya para aktivis untuk mendorong reformasi dalam sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan keputusan yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya elit politik.

Dengan gugatan ini, para Pemohon menantikan peran MK sebagai pengawal konstitusi untuk memastikan bahwa proses Pilkada di Indonesia benar-benar mewakili kehendak rakyat, dan bukan sekadar formalitas politik yang dikendalikan oleh segelintir elit partai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *