“Tajuk Rasil”
Kamis, 15 Jumadil Akhir 1445 H/ 28 Desember 2023
Hikmah Republika
Setiap individu mendambakan kehidupan yang tenteram. Tentu dambaan itu tidak akan terwujud jika pilar-pilarnya tidak ditegakkan. Salah satu faktor penting terwujudnya masyarakat yang tenteram adalah kemampuan masyarakat mengendalikan lisan dari menuduh orang lain tanpa bukti. Dalam Islam, menuduh adalah perilaku yang sangat tercela.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)
Ancaman pada ayat di atas berbanding lurus dengan dampak yang ditimbulkan oleh sikap dan sifat menuduh. Secara individu, korban tersakiti dan rusak nama baiknya. Tetapi, keburukan memfitnah tidak berhenti pada level individu. Perilaku menuduh tanpa bukti dapat mengusik keakraban di tengah masyarakat. Bahkan, jika tidak diredam, maka akan mengoyak persatuan dan kesatuan.
Karenanya, Islam memberikan ancaman berlapis kepada orang yang menuduh tanpa bukti. Ada hukuman di dunia berupa had (hukuman yang ketentuannya dari Allah SWT) dan ta’zir (hukuman yang ketentuannya berdasarkan ijtihad). Jika tuduhan itu berkaitan dengan zina, maka penuduh tanpa bukti dicambuk delapan puluh kali. Sedangkan, pada selain itu dihukum sesuai ijtihad hakim (ta’zir).
Adapun di akhirat akan berhadapan dengan ancaman yang juga tak kalah mengerikan. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa memfitnah saudaranya (dengan tujuan mencela dan menjatuhkan kehormatannya) maka Allah akan menahannya di jembatan jahanam sampai ia bersih dari dosanya (dengan siksaan itu).” (Riwayat Abu Daud).
Dua ancaman ini hendaknya menjadi bahan renungan. Agar kita lebih berhati-hati dalam melangkah. Ketika mendengar atau membaca berita, kita tidak terburu-buru menyebarkannya. Kita butuh ber-tabayyun terkait validitas dan kebenarannya. Lalu memastikan efek kemaslahatan ketika menyebarkannya. Hal ini mutlak kita lakukan agar amalan kita di dunia tidak menjadi penggerus atas kebaikan kita.
Contohnya dalam mengakses berita-berita di medsos pada momen politik ini. Jadikan diri kita sebagai penyaring berita-berita yang akan tersebar di keluarga, kelompok dan masyarakat. Jangan sampai mereka memakan berita bohong atau fitnah yang menjadikan mental dan emosinya memburuk. Jadikan jempol-jempol kita sebagai penyelamat dari fitnah dunia politik yang seharusnya rakyat tidak perlu berdosa karena nafsu sekelompok manusia.
Tidak diragukan, memfitnah adalah kezaliman. Kezaliman kepada sesama adalah dosa yang paling rumit pemutihannya. Jika meninggal dalam keadaan belum mendapatkan maaf, maka pahala kita akan tergerus untuk menebus dosa zalim tersebut. Bahkan, jika pahala sudah habis sementara dosa zalim masih tersisa, maka kesalahan orang yang dizalimi akan ditanggung.
Situasi inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ memperingatkan, “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari kiamat membawa (pahala) shalat, puasa, dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta orang lain secara zalim, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu (yang terzalimi) akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Semoga Allah SWT menghindarkan kita dari memfitnah dan menggunjing!
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb