Kisah Heroisme Sahabat Nabi Ketika Hijrah

DI DUNIA ini, ada sejarah yang tidak pernah bosan untuk diceritakan. Salah satu dari sejarah tersebut adalah kisah hidup Nabi Muhammad ﷺ sang pemimpin umat manusia. Salah satu cuplikan dari kisah hidupnya yang paling mengagumkan adalah kisah hijrah beliau dari Makkah menuju Madinah. Hijrah yang merupakan pembuka harapan dan kemenangan, sekaligus menjadi jalan kembali bagi Nabi dan para shahabatnya menuju Makkah sebagai penakluk dan pemenang.

Dikisahkan dalam sebuah Riwayat, dari buku “Intisari Sirah Nabawiyah (Kisah-Kisah Penting Dalam Kehidupan Nabi Muhammad ﷺ) yang ditulis oleh Ibnu Hazm Al Andulisi, Ketika orang-orang musyrik melihat para shahabat Rasulullah ﷺ telah bersiap-siap, dan keluar membawa istri dan anak-anak mereka menuju Madinah. Orang-orang musyrik khawatir jika Rasulullah akan pergi dan bergabung bersama para shahabatnya. Hal ini membuat musyrikin Quraisy semakin keras memikirkan perkara ini, apalagi tidak ada lagi kaum muslimin yang tersisa di Makkah kecuali Rasulullah, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan sebagian kecil lain yang ditahan oleh orang-orang musyrik secara paksa.

Maka pada malam konspirasi kaum musyrikin untuk membunuh Rasulullah ﷺ, Jibril datang membawa wahyu dari langit dan memberitahu beliau tentang hal itu, dan Jibril juga meminta beliau untuk tidak tidur di tempat tidurnya pada malam itu. Di pertengahan siang, Rasulullah datang menemui Abu Bakar radhiyallahuanhu di rumahnya, lalu berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengizinkanku untuk berangkat.” Maka Abu Bakar berkata, “Aku menemanimu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Iya.”Aisyah yang menyaksikan percakapan itu berkata, “Aku melihat Abu Bakar menangis, dan sebelumnya aku tidak pernah mengira bahwa seseorang dapat menangis karena bahagia.”

Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menemui Ali bin Abi Thalib dan memberinya dua amanat: membayarkan hutang-hutang dan mengembalikan barang-barang titipan yang ada pada beliau Selain itu, Nabi ﷺ meminta Ali untuk melaksanakan satu misi lain, yaitu tidur di kasur beliau. Benar saja, sekelompok orang Quraisy telah berkumpul dan mengintai dari celah pintu dan mengawasinya, seraya terus bersekongkol, siapa di antara mereka yang akan memulainya.

Malam tiba, Rasulullahﷺ keluar rumah, lalu mengambil segenggam kerikil, dan kemudian menaburkannya di atas kepala mereka orang-orang musyrik, sementara mereka tidak melihat beliau yang sedang membaca ayat, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin ayat 9). Adapun Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, di dalam rumah ia telah mengenakan pakaian Nabi ﷺ dan kemudian tidur di tempat beliau.

Orang-orang musyrik melempari tempat tidur Nabi dengan batu. Sayyidina Ali menahan rasa sakit yang dirasakannya. Ia memasukkan kepalanya ke dalam selimut dan tidak sekalipun mengeluarkannya. Itu dilakukannya di tengah-tengah semua penindasan dan gangguan tersebut. Dalam kondisi tersebut Ali tetap tegar, tidak merasa takut sedikit pun dan tidak pula merasa gelisah. Pada pagi harinya, kepalanya disingkapkan dan orang-orang musyrik mendapati bahwa ia adalah Ali bin Abi Thalib, sehingga gagal lah semua perbuatan makar yang mereka lakukan. Allah Ta’ala mengembalikan tipu daya mereka terhadap mereka sendiri.

Setelah peristiwa itu, Ali bin Abi Thalib pun berangkat menyusul Rasulullah ﷺ ke Madinah. Ia berjalan di malam hari dan beristirahat di siang hari hingga tiba di Madinah. Para shahabat segera menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan memberitahu beliau tentang kedatangan sayyidina Ali.

Mendengar kabar tersebut wajah Rasulullah ﷺ menjadi cerah dan berkata, “Panggilkan Ali bin Abi Thalib untuk menemuiku.” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ia tidak kuat lagi berjalan.” Maka Rasulullah segera bangkit dan menemuinya. Ketika melihatnya, beliau menangis dan memeluknya. Beliau menangis karena kasihan melihat kedua kakinya yang membengkak dan mengeluarkan darah. Saat itu mulut-mulut yang menyaksikan seakan terkunci dan hanya air mata yang mampu berbicara. Lalu Nabi ﷺ meludah di kedua tangannya dan kemudian mengusapkannya ke kedua kaki Ali seraya mendoakan kesehatan untuknya. Sejak saat itu Ali tidak pernah lagi merasakan sakit sampai ia syahid.

Mungkin penting untuk diingatkan di sini bahwa peran Sahabat Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahuanhum merupakan peran yang paling strategis dan paling penting dalam proses terjadinya hijrah. Itu adalah pengorbanan pertama di dalam Islam, sehingga pengorbanan seperti itu tentunya haruslah sebuah pengorbanan yang tidak ada duanya.

Subhanallah, sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis karena bahagia menemani Nabi Muhammad ﷺ berjalan ke Madinah yang menjadi buronan orang-orang musyrikin Makkah. Sementara itu, sayyidina Ali tidur di tempat tidur Nabi padahal ia tahu bahwa beliau adalah target pembunuhan. Cinta macam apakah yang mereka tunjukkan ini? Ini adalah hasrat yang besar untuk membela agama yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.

Wallahu ‘Alam Bishshawwab