Mengenang Prof Ali Yafie, Sosok Ulama Fikih

NAMA lengkapnya adalah Muhammad Ali Yafie. Ia lahir di Desa Wani, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1 September 1926.

Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yafie, seorang ulama dari Sulawesi Selatan, sedangkan ibunya bernama Imacayya, putri Kerajaan Ternate di Sulawesi Selatan. Muhammad Yafie merupakan putra Syekh Abdul Hafidz Bugis, ulama yang menjadi guru di Masjidil Haram.

KH. Prof Ali Yafie, yang pernah menjadi ketua umum MUI periode 1990-2000 dan Rais Aam PBNU periode 1991-1992, mengembuskan napas terakhirnya, kembali ke Yang Maha Kuasa, wafat Sabtu malam 25 Februari, pada usia 97 tahun. Kabar duka tersebut tentu saja menyisakan duka mendalam bagi segenap umat Islam dan bangsa Indonesia.

Almarhum Prof KH Ali Yafie dikenal sebagai ulama yang fakih dan lemah lembut. Berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam.

Sejak kecil beliau sudah berkecimpung di dunia pesantren. Ayahnya KH. Mohammad Yafie adalah seorang pendidik, mulai mendidik Ali Yafie kecil tentang keagamaan dengan memasukkannya ke pesantren. Sang ayah mendorongnya menuntut berbagai ilmu pengetahauan, terutama ilmu agama sebanyak-banyaknya dari para ulama, termasuk ulama besar Syekh Muhammad Firdaus, yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia.

Didikan orang tuanya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tertanam terus sejak kecil hingga kemudian diteruskan dalam mendidik putra-putranya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad Parepare, Sulawesi Selatan yang didirikannya pada 1947. Secara khusus, Asrorun Niam Sholeh ketua MUI bidang fatwa dan katib syuriyah PBNU mengenang sosok ulama karismatik Prof Ali Yafie. Dengan menuturkan, “Mata saya berkaca-kaca, pikiran saya menerawang jauh, membayangkan sosok ulama karismatik; luas pengetahuan keagamaannya, halus sikap dan tutur katanya, sistematis bahasanya, sederhana penampilannya, dan teguh pendiriannya. Beliau adalah sosok ulama yang sangat dalam ilmunya, menguasai sangat mendalam tradisi keilmuan salaf, yang menjadi salah satu ciri khas ulama tradisional.”

Namun, kita semua mafhum, pergulatan intelektual beliau merambah lintas batas tradisionalisme Islam; beliau berbicara secara fasih fikih sosial, perbankan syariah, dan juga tentang lingkungan hidup. Beliau juga diterima banyak kalangan Islam dari berbagai kelompok dan golongan.

Di NU, beliau memperoleh amanah puncak organisasi sebagi Rais Am PBNU. Posisi atau maqam tertinggi organisasi yang disebut oleh KH Ma’ruf yang hanya bisa ditempati oleh shahibul maqam. Beliau mengundurkan diri dari jabatan Rais Am demi sebuah prinsip, karena isu SDSB yang pernah menyasar pengurus tanfidziyah PBNU. Posisinya kemudian digantikan oleh KH. Ilyas Ruchiyat, pimpinan Pesantren Cipasung Tasikmalaya.

Di lembaga Majelis Ulama Indonesia, beliau juga memperoleh amanah tertinggi sebagai Ketua Umum MUI, periode 1998-2000. Di Munas 2000, beliau tidak berkenan untuk diperpanjang. Akhirnya Munas menetapkan KH. Ahmad Sahal Mahfudh menjadi Ketua Umum pengganti beliau.

Di zaman beliau memimpin MUI, inisiasi berdirinya Dewan Syariah Nasional (DSN MUI) dimulai; lembaga yang secara khusus bertugas membahas dan menetapkan fatwa-fatwa produk ekonomi dan keuangan syariah. Beliau menjadi Ketua DSN MUI yang pertama. Tanda tangan beliau sebagai Ketua DSN terabadikan dalam Fatwa-fatwa DSN MUI di Tahun 2000.

Di samping di organisasi NU dan MUI, beliau juga dikenal luas sebagai Cendekiawan Muslim lintas batas. Pemikiran, ide, dan gagasannya modern melampaui lingkungan tradisionalnya. Fasih dengan tradisi kitab kuning, juga akrab dengan tema-tema modernitas dan isu kontemporer.

Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof Din Syamsuddin juga mengenang sosok KH. Prof. Ali Yafie sebagai seorang ulama yang mempunyai wawasan pengetahuan keislaman yang luas. Din Syamsudin dalam keterangannya menambahkan bahwa almarhum juga merupakan seorang ulama yang fasih menjelaskan realitas sosial-politik umat atau bangsa, memiliki sikap teguh dalam prinsip istiqamah dan amanah.

Sosoknya diterima di berbagai kelompok. Beliau juga dikenal sebagai akademisi, pernah menjabat Rektor IIQ Jakarta. Beliau juga termasuk sosok di balik lahirnya Bank Muamalat, dan menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah nya. Banyak hal baik yang diteladankan oleh beliau. Kedalaman ilmu, keluasan jaringan, kezuhudan, keteguhan dalam memegang prinsip, dan kesederhanaan dalam gaya hidup.

Sungguh, beliau hidup dalam sanubari kita semua. Kita perlu mencontoh dan meneladani kebaikan beliau. Lahul Faatihah…

Wallaahu a’lam bisshawaab